Kampung Hubikosi, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dianugerahi lahan tanam yang luas. Salah satu andalannya, kopi arabika. Kopi arabika Wamena yang khas dan terkenal hingga ke mancanegara antara lain berasal dari perkebunan kopi milik warga Hubikosi. Namun, lahan tanam yang ada belum digunakan dengan maksimal, sementara keinginan untuk meningkatkan produksi kopi demi perbaikan taraf hidup warga semakin besar.

Produksi kopi memang dapat memberi keuntungan besar. Saat panen raya, 1 ton hasil kopi dihargai Rp 40 juta. Namun, dengan masa panen yang berjarak, sumber penghasilan warga khususnya petani kopi pun ikut berjarak. Beruntung, kampung Hubikosi memiliki sebuah kolam alam berukuran besar yang kemudian digunakan sebagai budidaya ikan air tawar, terdiri atas ikan mas, mujair, dan lele. Areal ini bahkan telah menjadi kolam pemancingan untuk warga umum.

Meski demikian, kopi tetap menjadi primadona. Warga pun ingin terus memaksimalkan produksi kopi. Bak gayung bersambut, impian warga Hubikosi selaras dengan tujuan BRI dalam memberdayakan ekonomi masya­rakat, yang kemudian bekerja sama dengan kelompok tani di Hubikosi untuk memaksimalkan lahan serta meningkatkan produktivitas potensi daerah.

Lewat program Teras BRI Nusan­tara, BRI memberikan program pendampingan dan pelatihan kepada 130 warga yang tergabung dalam kelompok tani, dengan total biaya Rp 234.502.000. Dana tersebut diberikan dalam bentuk bantuan alat-alat kerja seperti parang, sekop, linggis, gunting pangkas, gergaji pangkas, mesin pembabat rumput, kapak, alat tanam, koker/polybag, jaring, ember, dan lain-lain untuk kebutuhan bertani kopi.

“Koker itu sangat mahal di Papua. Tapi, kita bisa dapatkan dari BRI jadi bisa untuk tanam. Kebetulan di sini sudah ada 10 kelompok (petani) kopi. Kami mau melakukan pengembangan, lalu datanglah bantuan,” ujar Philipus Hubi, ketua kelompok tani di Kampung Hubikosi saat dihubungi Selasa (24/4).

Selain alat-alat kerja, BRI mem­berikan bibit buah naga sebanyak 200 pohon dan 12 peti/stup lengkap dengan koloni lebah madu. Diperkenalkannya buah naga dan budidaya lebah madu kepada kelompok tani di Hubikosi bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan penelitian, lebah madu dapat membantu proses penyerbukan kopi sehingga bisa meningkatkan produksi kopi hingga 50 persen. Baik madu maupun buah naga tidak menunggu masa panen yang panjang sehingga dapat menjadi sumber penghasilan ketika kopi sedang tidak dalam masa panen.

Budidaya buah naga ini menempati lahan seluas 1 hektar yang sebelumnya hanya digunakan untuk menanam tanaman pangan kebutuhan harian seperti ubi jalar. Sementara itu, pengembangan lahan kopi mengambil areal seluas 5 hektar sehingga total luas lahan kopi warga Hubikosi saat ini mencapai 10 hektar.

“Kopi nanti bulan Juli panen besar. Lebah madu bulan Agustus. Nah, untuk buah naga masih menunggu dua tahun untuk bisa berbuah. Sekarang ini baru satu tahun usianya,” terang Philipus lagi. Hingga hari ini, program pendampingan masih berlanjut. Melakukan proses penanaman, peremajaan tanaman kopi yang mati, dan mempelajari manajemen keuangan yang lebih terstruktur.
Dulu, tambah Philipus, warga hanya kelola keuntungannya sendiri-sendiri. Sekarang dibuat kelompok tani yang lebih terstruktur. Ia pun berharap, adanya bantuan dari BRI dapat memperbaiki taraf hidup ekonomi warga.

Setali tiga uang, pihak BRI pun berharap program desa binaan ini dapat menjadi pintu pembuka harap­an baru bagi warga Hubikosi untuk meningkatkan taraf hidupnya, mem­perbaiki produksi pertanian, dan menjadi cara untuk mengenal sistem perbankan. Untuk dapat menyimpan pendapatan, demi kebutuhan hari esok, lusa, minggu depan, dan untuk jangka waktu yang lebih panjang. [ADT].

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 25 April 2018.