Ukuran moderasi beragama itu sebenarnya sederhana. Cukup kita melihat kembali seberapa banyak teman kita yang tidak berbahasa sama dengan kita, tidak berorganisasi sama dengan kita, dan tidak sama cara beribadahnya. Untuk itu, kita perlu bersahabat, berkawan, dan bersaudara. Ini dibutuhkan dalam konteks keindonesiaan yang amat kaya.
Hal itu diungkapkan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Al Makin dalam dialog kebangsaan antar-umat beragama bertema “Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebhinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama UIN Sunan Kalijaga, Rabu (30/3/2022) di Yogyakarta.
Tema-tema tentang persahabatan dan persaudaraan itu, lanjut Al Makin, perlu disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya melalui media sosial (medsos). “Menurut beberapa penelitian, medsos kita perlu dirapikan lagi. Warganet kita jika dibandingkan dalam kawasan Asia Tenggara paling ‘banyak bullying-nya’, terhadap pandangan yang berbeda. Mulai dari isu pengeras suara, isu-isu Pancasila, pemindahan ibu kota, hingga berbagai macam isu nasional. Ada kecenderungan yang diutamakan warganet kita adalah menghujat.”
Al Makin juga berpesan agar para influencer jangan hanya mencari follower dan popularitas. Jangan cuma mencari kontroversi, apalagi mencari kesalahan kawan-kawan sendiri. Sebab, dunia maya (online) itu bukan dunia sesungguhnya.
Kepala BPIP KH Yudian Wahyudi dalam sambutannya menjelaskan pentingnya sosialisasi Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan yang menjadi tugas dan fungsi BPIP dalam membangun harmoni antar-umat beragama di Indonesia. Ia memaparkan bahwa sejarah dan latar belakang Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka Bung Karno yang dikumandangkannya pada awal kemerdekaan.
“Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden Soekarno pada 1945. Bung Karno berkata, kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, perlu ada salam pemersatu kebangsaan,” jelas Yudian mengutip pernyataan Bung Karno.
Oleh karena itu, disusunlah salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan. Bung Karno lalu mengusulkan salam merdeka yang bentuk gerakannya seperti Salam Pancasila sekarang ini. “Oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP, salam merdeka Bung Karno diadopsi menjadi Salam Pancasila,” imbuh Yudian.
Bentuk gerakan Salam Pancasila, yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini menjadi wujud mengamalkan kelima sila Pancasila serta harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia. Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Pengertiannya adalah antara sila satu dan yang lainnya saling menyatu dan menopang.
Kepala BPIP juga menyinggung tentang kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara. Menurut Yudian, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu. Namun, ada di kebersamaan dan persahabatan.
“Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tetapi bahasanya memakai bahasa hukum. Tidak ada toleransi tanpa konsensus,” ujar Yudian.
Ia juga berharap agar forum ini mampu menjadi pelecut bagi BPIP untuk lebih aktif dalam membangun dan menyosialisasikan narasi persatuan dan kebangsaan melalui berbagai platform. Salah satunya, medsos dengan melibatkan berbagai pihak, utamanya kaum milenial.
“Mudah-mudahan kami juga bisa membuat deklarasi yang lebih besar lagi dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang lebih luas terutama dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini. Kami juga akan terus mendorong keterwujudan hal ini, terutama dengan disahkannya PP Nomor 4 Tahun 2022 yang Pancasila menjadi mata pelajaran khusus dan kewarganegaraan menjadi bagian dari Pancasila,” ungkapnya.
Negara perlu hadir
Dialog kebangsaan ini diisi dengan FGD bertajuk “Penggunaan Media Sosial dalam Membangun Moderasi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0” yang dipandu Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin.
Lukman mengemukakan bahwa medsos bisa sangat positif dan bisa amat negatif. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk mengawal proses yang terjadi pada semesta medsos kita.
“Namun, kehadiran negara di sini bersifat moderat. Tidak berlebih-lebihan. Jangan sampai kontrol negara melahirkan penyensoran yang justru kontraproduktif dengan usaha membangun demokrasi dan kebebasan berpendapat kita. Tapi bukan juga tanpa batas karena ini juga tak sehat. Ada nilai-nilai yang perlu kita sepakati bersama. Inilah pentingnya kita merumuskan etika sebagai pegangan negara sekaligus pegangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat sipil secara keseluruhan juga perlu edukasi dalam bermedsos secara positif,” tegas Lukman.
Dengan demikian, lanjut Lukman, nantinya BPIP sebagai “pengawal” Pancasila bisa menjalankan peran dan tugasnya secara lebih implementatif dalam melihat aktivitas medsos kita. BPIP bisa melihat bagian-bagian yang akan mengancam Pancasila; atau suatu bagian dari wacana yang perlu kita hargai dan hormati meski wacana tersebut amat beragam.
Ia juga menegaskan pentingnya peran tokoh-tokoh agama melalui organisasi atau majelis keagamaan agar lebih proaktif dalam memanfaatkan medsos. “Adagium yang ‘waras ngalah’ entah masih relevan atau tidak. Kalau yang waras selalu diam, semua medsos kita akan dipenuhi oleh yang ‘tidak waras’. Maksud saya, kita harus lebih mampu mengisi ruang-ruang publik melalui medsos dengan cara pandang keagamaan yang kembali ke akar kita. Tidak hanya pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti tenggang rasa, tetapi juga akar atau inti dari ajaran agama itu sendiri yang universal misalnya kemanusiaan.”
Menurut Lukman, sekeras atau setajam apa pun perbedaan di antara kita tidak bisa kemudian menjadi alasan—apalagi alasan keagamaan—untuk menegasikan hubungan kemanusiaan antarkita. “Merumuskan nilai-nilai universal dalam ajaran setiap agama perlu lebih dikedepankan. Karena biasanya problem keagamaan yang melahirkan konflik itu muncul pada persoalan yang partikutral, bukan yang universal.”
Pemanfaatan medsos
BPIP menyasar medsos sebagai platform penting karena keterjangkauannya yang luas dan bisa diakses dari mana pun-kapan pun, serta mampu membentuk opini komunal. “Medsos menjadi sarana penting dalam mengenalkan mata pelajaran Pancasila kepada siswa dan mahasiswa kita. Dalam mata pelajaran Pancasila, 30 persen materi bersifat teoritis dan 70 persen sisanya lebih bersifat menggali Pancasila pada kehidupan masyarakat melalui tradisi dan kebudayaan,” terang Yudian.
Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP Prakoso menambahkan, BPIP bersama dengan kementerian dan lembaga telah menginisiasi pendidikan Pancasila diajarkan secara khusus mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. “BPIP telah menyusun 15 buku materi pembelajaran pendidikan Pancasila. Salah satunya, moderasi dalam berketuhanan.”
Ahmad Munir, perwakilan Ikatan Pelajar NU Kota Yogyakarta, mengatakan, medsos di kalangan anak muda saat ini terbilang memprihatinkan, terutama kalau berbicara tentang pendidikan. Informasi-informasi medsos di ranah pendidikan, katanya, bukannya memberi pengaruh yang baik, melainkan malah cenderung merusak.
“Apalagi kalangan anak muda itu bermedsosnya lebih untuk hiburan semata, bukan untuk pendidikan. Okelah kita bisa bermain hiburan di medsos, tapi ada baiknya juga bisa mendukung pencapaian cita-cita kita melalui pendidikan. Peran keluarga juga penting untuk mengarahkan anak-anak muda ini untuk bermedsos secara sehat,” ujarnya.
Ketum PB Al Jam’iyatul Washliyah KH Masyhuril Khamis berpendapat, kita perlu sadari ketika bermedsos, seharusnya kita berkomunikasi seperti bertatap wajah agar ada rasa apakah yang saya tulis atau komentari ini pantas atau layak. “Dasarnya adalah komitmen kebangsaan kita. Saling menghargai antara yang satu dan yang lain. Inilah yang dikembangkan Pancasila. Kebersamaan kita sebagai makhluk Tuhan harus saling menghargai antara satu dan yang lain.”
Mewakili Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Martin L Sinaga mengungkapkan bahwa generasi Z merupakan generasi yang paling banyak bermedsos. Yang menarik, ternyata generasi ini tidaklah emosional ketika mendengar berita-berita tentang agama, tapi mereka akan mendalaminya terlebih dulu.
“Jadi, cara kita membangun moderasi beragama gen Z adalah berkolaborasi dengan mereka untuk membangun bahasa yang lebih sebaya dengan mereka. Agar gen Z ini bisa bijak bermedsos, kita perlu lebih banyak mendengar gen Z berbicara dan mengajak mereka berbicara. Bukan menggurui sehingga perlu ada diskusi dan melibatkan mereka,” ujar Martin.
Agus Setiawan Suwarno yang mewakili Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) DIY juga mengutarakan bahwa medsos dari dulu bisa berdampak baik dan kurang baik. Untuk itu, kita harus bijak dalam bermedsos. “Terutama jika menerima sesuatu yang baru jangan asal menyebarnya saja, tanpa mengeceknya terlebih dulu. Kalau mau membuat konten yang baru, usahakan memberi efek positif bagi persatuan NKRI.”
Perwakilan Majelis Tinggi Konghucu Indonesia (Matakin) Chandra Setiawan juga mendorong agar pemuka Konghucu agar senantiasa memberi contoh dan edukasi kepada umat Konghucu dalam bermedsos. Ini sesuai ajaran Konghucu tentang kebajikan yang harus dicerminkan dalam bermedsos.
“Kita wajib mengutamakan rasa kemanusiaan kita, termasuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Terlebih saat bermedsos itu sifatnya multikultur sehingga karakter yang perlu kedepankan adalah nilai-nilai Pancasila yang universal. Merayakan keragaman, menerima perbedaan, dengan demikian tidak ada pihak yang merasa tersakiti dan kita bisa mencintai Tanah Air kita dengan sungguh-sungguh,” katanya.
Romo E Didik Cahyono SJ dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga menyatakan bahwa medsos saat ini punya posisi strategis dan mudah diakses sehingga perlu memproduksi konten-konten yang menghargai keberadaan orang lain, termasuk dalam hal perbedaan.
“Semoga dengan kebijaksanaan dalam diri pengguna dan pembuat konten sungguh bisa benar-benar meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa kita. Tidak hanya gadgetnya yang smart, tapi penggunanya juga smart,” ucap Romo Didik.
Pinandita Astono Chandra dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) turut mengajak agar tokoh-tokoh agama mendorong umatnya untuk bijak bermedsos. Saat ini, tangan kita, jemari-jemari kita harus bijak. “Kita semua berharap bisa mengedukasi pada umat kita masing-masing. Bisa mampu memilah dan mengolah informasi. Dengan demikian, umat jangan sampai salah langkah. Tokoh agama perlu menjadi contoh bagi lingkungannya.”
14 sikap etika bermedsos
BPIP bersama organisasi masyarakat lintas agama akhirnya mendeklarasikan 14 sikap etika dalam bermedia sosial yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila. Berikut ini, 14 sikap etika bermedsos tersebut.
Pertama, meneguhkan peran media sosial dalam memberikan edukasi untuk pemahaman kebinekaan dan moderasi beragama demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Kedua, menjadikan media sosial sebagai sarana literasi dalam penyebarluasan narasi untuk menguatkan wawasan keberagaman dan kebangsaan.
Ketiga, mengutamakan sikap sadar etika dan sadar moral dalam melakukan interaksi dan komunikasi di media sosial untuk menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.
Keempat, mengutamakan norma kesantunan dalam menggunakan media sosial sebagai sarana pemersatu di ruang publik.
Kelima, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dalam menyebarluaskan informasi ke ranah publik.
Keenam, menjadi pelopor dan agen dalam menyebarkan budaya sadar berliterasi di media sosial guna memperkuat persaudaraan sejati dalam bermasyarakat.
Ketujuh, membangun budaya kritis dan bijaksana dalam merespons informasi melalui media sosial.
Kedelapan, mengarusutamakan penggunaan media sosial untuk konten-konten berorientasi pada nilai-nilai kemajuan, nilai-nilai kearifan lokal, peradaban bangsa dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki bangsa Indonesia.
Kesembilan, mengutamakan penggunaan media sosial untuk menghentikan ujaran kebencian yang berlandaskan SARA di ruang publik.
Kesepuluh, mengutamakan nilai-nilai universal agama sebagai komitmen untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, integritas dalam bermedia sosial.
Kesebelas, memperkuat kerja sama antarlembaga keagamaan dalam menolak setiap ujaran kebencian.
Kedua belas, memperkuat peran tokoh agama perempuan dalam menolak setiap ujaran kebencian dan mempromosikan moderasi beragama.
Ketiga belas, menguatkan peranan keluarga dan institusi pendidikan dalam menggunakan media sosial yang bertanggung jawab terhadap pemahaman moderasi beragama.
Keempat belas, mendorong dan/atau mendesak negara hadir dan berperan sebagai katalisator dan regulator dalam penegakan norma-norma etika komunikasi publik berdasarkan Pancasila.
BPIP berharap masyarakat mampu menyaring konten-konten dengan selektif serta mampu membangun narasi persatuan dan kebangsaan berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila.
Dialog dan deklarasi ini dihadiri PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, Matakin, Permabudhi, Al Washliyah, Al Khairaat, Persatuan Islam (Persis), MUI, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Termasuk, para pegiat medsos, di antaranya Sakdiyah Makruf, Gusdurian, Setara Institut, dan Maarif Institut. [TYS]