Keberadaan seni tradisi, termasuk tradisi lisan, di sejumlah daerah mengalami kemunduran dari tahun ke tahun. Panggung untuk menampilkan seni tradisi semakin sedikit. Pewarisan seni tradisi terhambat karena generasi yang lebih muda melihat seni tradisi tidak memberikan jaminan masa depan cerah.

Di sisi lain, perubahan sosial yang berlangsung demikian cepat turut berpengaruh besar pada kelangsungan seni tradisi. Perubahan sosial membuat gaya hidup berubah dan ikatan sosial merenggang. Ketika zaman berubah, ritual dan praktik kolektif, termasuk seni tradisi menghadapi tantangan berat.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya untuk melestarikan seni tradisi. Kemendikbudristek, misalnya, menggelar Pekan Kebudayaan Nasional setiap dua tahun sekali dan mendokumentasikan praktik seni tradisi yang nyaris hilang. Meski demikian upaya ini tidak serta merta bisa membangkitkan kembali seni tradisi. Perlu upaya keras dari berbagai pihak untuk melestarikan seni tradisi dan memperkenalkan kembali kepada generasi yang lebih muda.

Terkait dengan upaya itu, Harian Kompas (Kompas.id) menggelar acara Bincang-bincang tentang Tradisi Lisan Tale Nuai dan Dongeng Buleng di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (26/10/2023). Bincang-bincang tentang tradisi lisan ini merupakan salah satu mata acara Festival Kata: Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan yang berlangsung pada 26-27 Oktober 2023. Festival Kata digelar oleh Kompas dan didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI.

Upaya menjaga kebudayaan

Pemimpin Redaksi Sutta Dharmasaputra menjelaskan, sastra lisan merupakan upaya untuk menjaga kebudayaan karena di situ mengandung nilai-nilai pengetahuan, pengetahuan yang diturunkan turun temurun, dan kemampuan bernarasi. Tanpa kemampuan bernarasi yang baik, kita tidak akan dikenal. Tenggelam oleh narasi-narasi lain.

“Kami senang sekali bisa menghadirkan maestro Tale Nuie dari Jambi dan seniman dongeng Buleng Betawi. Semoga inisiatif ini bisa memperkenalkan sastra lisan ini kepada publik di Jakarta, khususnya generasi muda. Lebih jauh, kami berharap acara ini bisa memantik ketertarikan publik pada seni tradisi ini,” tambah Sutta, Kamis (26/10), di Menara Kompas, Jakarta.

lisan

Bincang-bincang Tradisi Lisan menghadirkan tiga pembicara yakni mestro Tale Nuei dari Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi yakni Tino Mariam atau Nenek Mariam; Yahya Andi Saputra, seniman dongeng Buleng dan Sohibul Hikayat Betawi; dan Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media pada Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI.

Tino Mariam mulai tertarik pada Tale Nuei—semacam ungkapan kata hati yang disusun dalam bentuk syair serta disenandungkan dengan indah—sejak remaja. Tale Nuei di beberapa daerah di Jambi disebut juga Tale Nuei atau Tale Nuai atau Tale Nuai (bergantung dialek yang digunakan di masing-masing daerah di Jambi). Tale Nuei umumnya bercerita tentang kebiasaan masyarakat saat memanen padi. Untuk mengusir kebosanan selama bekerja di sawah, para petani biasanya ber-tale.

Mariam mulai mempelajari Tale Nuei dengan mendengarkan  nenek, kakak, dan seniman tale mengalunkan Tale Nuei. Pada usia 30-an ia mulai tampil ber-tale di berbagai acara baik festival yang digelar oleh pemerintah maupun kenduri dan acara adat yang digelar masyarakat. Sejak saat itu, Mariam menjadi salah satu pemegang tongkat estafet seni Tale Nuei di Jambi. Pada acara bincang-bincang, Tino Mariam menjelaskan seputar Tale Nuei dan menampilkannya kepada hadiri.

Sementara itu, Yahya Andi Saputra adalah seniman Betawi yang menekuni sastra lisan Sohibul Hikayat dan dongeng Buleng. Ia sering tampil di acara-acara festival seni dan acara-acara hajatan warga di wilayah kultural Betawi. Pada acara Bincang-bincang Tradisi Lisan kali ini, Yahya akan menjelaskan apa itu dongeng Buleng dan menampilkannya di depan hadirin.

Buleng adalah dongeng Betawi yang bertumpu pada kisah-kisah kerajaan-kerajaan lokal. Sastra lisan ini dulu biasa digelar di acara-acara hajatan. Sejak tahun 1990an, dongeng Buleng, menurut Yahya, bisa dikatakan sudah punah lantaran tidak pernah lagi ada laporan tentang penampilannya.

Yahya yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, termasuk satu dari sedikit seniman Betawi yang masih menguasai dongeng Buleng.

Turut hadir dalam bincang-bincang adalah Direktur Perfilman, Musik, dan Media pada Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI Ahmad Mahendra. Ia menjelaskan, apa saja yang masuk dalam kategori tradisi lisan, bagaimana penyebarannya saat ini, dan upaya Ditjen Kebudayaan dalam pendokumentasian tradisi lisan.