Pernyataan Einstein itu selalu relevan. Inovasi tidak hanya urusan mereka yang bekerja di bagian riset dan pengembangan, tetapi juga setiap orang. Di tengah kehidupan manusia yang kian kompleks, dibutuhkan cara-cara baru untuk memecahkan masalah dan membuat hidup lebih berkualitas, termasuk dalam bisnis.
Seperti dilansir Kompas, 7 Juni 2015, Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak pernah mengatakan, sumber terbesar yang digunakan di bisnis adalah inovasi yang berakar pada ilmu pengetahuan serta pengembangan teknologi dan riset. Pembaruan adalah hal yang wajib dalam sekolah bisnis. Kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan zaman ini tampak benar pada kurikulum dan sistem pengajaran yang diterapkan program Magister Manajemen (MM) Universitas Prasetiya Mulya.
“Saat ini program MM mengarah ke inovasi bisnis, selain tentunya kami menggarap serius personal leadership development. Sejumlah mata kuliah dikaitkan dengan inovasi. Tugas akhirnya berupa business plan,” ujar Direktur Program MM Prasetiya Mulya Indria Handoko, Rabu (14/2).
Selain lewat kurikulum, mahasiswa MM Prasetiya Mulya diperkaya dengan keragaman latar belakang mereka yang belajar di sana. “Sejak awal perekrutan, Prasetiya Mulya mengambil mahasiswa dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan sehingga ketika memecahkan masalah, mereka mendapatkan masukan yang multiperspektif,” tambah Indria.
Hal lain yang ditekankan, mahasiswa diarahkan untuk membuat solusi bisnis yang mengedepankan triple bottom line, yaitu aspek people, planet, dan profit (3P). Ini merujuk pada model bisnis yang mendorong tanggung jawab sosial dan keberlanjutan lingkungan, selain tentu saja mesti mendatangkan profit.
Implementasi
Segala hal yang dipelajari mahasiswa MM Prasetiya Mulya tidak berhenti di kelas atau kampus. Setelah lulus, sejumlah mahasiswa konsisten menjadikan bekal pengetahuan itu modal untuk menggerakkan bisnis yang membawa benefit bagi orang lain.
Errika Ferdinata, alumnus MM Strategic Management, melihat betapa pentingnya inovasi bisnis lewat teknologi. Menurutnya, yang dibutuhkan untuk menjadi unggul secara bisnis pada era sekarang bukanlah modal yang besar, melainkan inovasi yang tepat menyentuh permasalahan. Ia mendirikan Bildeco, market place di bidang bahan bangunan.
“Saya pernah bekerja sebagai kontraktor dan mengalami sendiri kesulitan mendapatkan bahan bangunan. Potensi fraud-nya juga tinggi. Inilah yang membuat saya berpikir untuk mendirikan Bildeco,” kata Errika.
Sekarang, Bildeco menjadi platform yang memudahkan orang memenuhi kebutuhan bahan bangunan, memberikan harga yang transparan, menjamin ketersediaan barang, dan melayani dengan sistem antar yang mudah.
Inovasi yang lain datang dari Mario Pattan, alumnus MM Business Management yang juga adalah Co-Founder dan CMO Wakatobi, merek kacamata lokal. Bisnisnya bermula dari kelompok business plan ketika ia mengambil gelar master di Prasetiya Mulya. Setelah lulus, ia bertemu dengan seorang temannya yang memiliki bisnis optik. Mereka lantas memutuskan memproduksi sendiri kacamata, lantas menggunakan lini online sebagai basis penjualannya.
“Kami mengobservasi, merek kacamata yang ada di optik saat ini hampir semuanya brand asing, yang ukurannya pun didesain dengan proporsi wajah orang asing sehingga ada kesulitan bagi kita untuk menemukan kacamata yang benar-benar pas di wajah. Karakter wajah orang Indonesia cenderung memiliki tulang pipi yang lebar, mata lebar, dan hidung yang agak pesek. Desain kacamata Wakatobi disesuaikan dengan proporsi wajah orang Indonesia,” cerita Mario.
Keinginan untuk mengimplementasikan triple bottom line pun menjadi dorongan yang kuat bagi Mario dan rekan-rekannya yang menjalankan bisnis Wakatobi. Mereka pun mencetuskan program Mata Mata. Konsepnya, dalam setiap penjualan satu kacamata, Wakatobi akan mendonasikan satu kacamata untuk mereka yang membutuhkan, tetapi tidak mampu membeli kacamata.
Wakatobi bekerja sama dengan beberapa panti asuhan. Tim Wakatobi akan mengunjungi panti asuhan, memeriksa mata anak-anak di sana, dan kembali dengan membawa kacamata yang dibutuhkan anak-anak. Saat ini, sudah lebih dari dua ribu kacamata yang disumbangkan.
“Kami berusaha agar bisnis ini tidak sekadar menghasilkan profit, tetapi juga memberikan dampak yang lebih berarti dan berkelanjutan,” tutur Mario.
Kerap terjadi, ada jarak antara penguasaan ilmu dengan kemampuan untuk mengimplementasikannya. MM Prasetiya Mulya dan para alumninya terus berupaya untuk mengeliminasi jarak itu. [IKLAN/NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 Februari 2018