Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Bersama Kita Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”. Webinar yang digelar pada Jumat, 8 Oktober 2021 di Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Alviko Ibnugroho (Financologist, Motivator Keuangan dan Kejiwaan Keluarga), Suherman (Kepala Seksi Peserta Didik dan Pembangunan Karakter Bidang PAUD Non Formal), E Nuriyani (Divisi Pencegahan Puspaga Ceria), dan Erista Septianingsih (Kaizen Room).

Alviko Ibnugroho membuka webinar dengan mengatakan, Indonesia menjadi negara dengan kasus cyberbullying terbesar urutan pertama di dunia.

Berdasarkan penelitian APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyatakan bahwa 49 persen dari 5.900 responden mengalami perundungan di internet. Selebihnya 47,2 persen belum pernah dibully dan 3,8 persen tidak menjawab.

“Intruksi Presiden terkait pencegahan kekerasan terhadap anak dengan memprioritaskan aksi pencegahan kekerasan yang melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Membuat sistem pelaporan dan layanan pengaduan yang baik agar korban, keluarga, dan masyarakat mudah melaporkan,” tuturnya.

Melawan kekerasan pada anak dan perempuan dengan menjadi smart user internet ada rasa empati. Gunakan dunia digital bukan untuk menjatuhkan mental orang, tapi harus menjadi bijak dan jauhi hal-hal negatif.

Suherman menambahkan, ada beberapa faktor pemicu terjadinya kekerasan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang siswa, yakni lingkungan sekitar rumah, teman bergaul siswa.

“Sementara dari latar belakang keluarga, yakni masalah keutuhan orangtua, ekonomi keluarga, pola asuh orangtua. Dari sudut pandang guru, pengetahuan yang dimiliki sebagian guru, seperti jumlah guru, persepsi yang parsial terhadap siswa, beban psikologis, ekonomi. Beban kerja dengan target yang harus dipenuhi oleh guru,” katanya.

E Nuriyani turut menjelaskan, grooming adalah upaya untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional sehingga mereka dapat memanipulasi atau mengeksploitasi, bahkan melecehkan korban (karena korban merasa berhutang budi dan terikat).

“Upaya untuk mencegah misalnya dengan memberi pemahaman sejak dini bahwa perempuan dan anak punya hak atas tubuhnya, dan orang lain—bahkan orangtua sekalipun—tidak bisa menyentuh apalagi meraba badan mereka tanpa izin. Siapapun boleh menolak hal-hal yang membuatnya tidak nyaman,” paparnya.

Menurutnya, perempuan dan anak-anak rentan terkena kejahatan grooming oleh orang dewasa dengan dalih pacaran atau ungkapan kasih sayang. Maka penting untuk menjadi perhatian orangtua tentang budaya digital. Selamatkan dampak buruk perubahan budaya di masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan positif bersama perempuan dan anak.

Sebagai pembicara terakhir, Erista Septianingsih mengatakan, digital safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

“Antisipasi kekerasan berbasis gender online (KBGO), yakni selalu batasi komunikasi dengan orang yang baru dikenal melalui media digital. Hindari mengirim foto apapun apalagi wajah dan seluruh badan. Apabila terlanjur berkenalan, telusuri profil orang tersebut setidaknya sampai benar-benar mendapatkan identitas aslinya. Jika ada teror, sampaikan secara tegas untuk mengakhiri percakapan serta abaikan pesan-pesan orang tersebut,” katanya.

Dalam sesi KOL, drg Stephanie Cecillia mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berkembang di dunia digital dan dunia nyata saat ini sebagian besar berkaitan dengan konten pribadi. “Sehingga akhirnya menjadi sasaran caci maki netizen dan oknum yang mencoba memanfaatkan untuk hal yang tidak baik.”

Salah satu peserta bernama Nur Khasanah menanyakan, bagaimana melindungi media sosial kita dari kejahatan pelecehan sosial? Contohnya, pengiriman gambar-gambar yang kurang sopan dari orang yang tidak dikenal.

“Nah, kita juga bisa mulai memilah-milah atau dipilih pilih akun media sosial apa yang ingin kita ikuti atau misalnya konten-konten seperti apa yang kita konsumsi. Itu karena biasanya kalau di media sosial kita sudah pernah melihat konten berjenis hiburan biasanya yang muncul konten-konten dengan jenis yang sama. Lihat-lihat yang baik gitu. Kalau misalnya ternyata tidak sengaja muncul yang negatif itu diblok seperti itu,” jawab Erista.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]