Sebagai pengguna media digital, kita memiliki hak untuk merasa aman ketika sedang mengakses dan berekspresi dalam ruang digital. Namun, pelecehan seksual yang sering terjadi di ruang digital tentu saja hak untuk merasa aman itu dilanggar.

Banyak yang bilang, mereka melakukan pelecehan seksual hanya sebagai bentuk ekspresi dan bercanda. Namun, hal yang mereka tidak ketahui adalah tindakan ekspresi tersebut menyalahi hak orang lain untuk merasa aman.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Stop di Kamu! Lawan Pelecehan Seksual di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat, 13 Agustus 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Novi Widyaningrum SIP MA (Peneliti Center for Population and Policy Studies UGM dan IAPA), Ridwan Muzir (Peneliti dan Pengasuh tarbiyahislamiyah.id), Haswan Boris Muda Harahap SIP MSi (Dosen Vokasi Institut STIAMI Jakarta), Btari Kinayungan (Inisiator Kampung Aridatu), dan Meliza Gilbert (presenter TV) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Ridwan Muzir menyampaikan bahwa pelecehan seksual di media digital adalah tindakan intimidasi, godaan, mempermalukan, merendahkan, serta menghina orang lain sehubungan dengan tubuh dan hasrat seksual yang dilakukan melalui perantaraan media digital.

“Dalam rangka melawan pelecehan seksual di media digital, perlu adanya penyadaran dan penguatan terhadap nilai-nilai etis dalam masyarakat. Seksualitas adalah martabat dan malu yang tak ternilai. Tubuh bukan komoditas, barang dan aset yang mesti dipamerkan. Hasrat seksual adalah tidak rasional dan liar, sehingga diperlukan norma dan hukum sebagai pawangnya,” jelasnya.

Meliza Gilbert selaku narasumber Key Opinion Leader juga mengatakan, ia banyak melakukan siaran tentang sport tetapi masih juga memegang News Information. Selain itu, ia juga mengajar olahraga dan banyak sharing di media sosial Instagram tentang olahraga dan kesehatan.

Ia berbagi pengalaman negatifnya terkait adanya pelecehan seksual, seperti saat siaran sport, ia akan mengunci media sosialnya karena pasti nantinya akan ada omongan-omongan yang tidak jelas dan kurang menyenangkan. Ketika ia menerima komentar-komentar atau hal yang tidak menyenangkan di media sosial, ia biasanya akan block akun tersebut. Sebab, jika sering mendapatkan komentar negatif itu tidak baik untuk diri sendiri juga.

Salah satu peserta bernama Wahyu Sinagar berpendapat, saat ini membicarakan hal-hal yang bersifat seksual mungkin bukan hal lumrah secara umum, tetapi lumrah secara individu dengan individu secara tidak langsung. Hal seperti ini banyak terjadi pada remaja.

“Dari yang saya lihat dan juga saya dengar melalui media ataupun pengalaman orang lain, pendidikan, pengetahuan, serta derajat tidak dapat membentengi pelecehan seksual sendiri, walaupun memang individu tersebut sudah mengetahui akan sex education. Lalu apa yang membuat pelecehan ini tetap ada serta marak secara tidak umum?”

Novi Widyaningrum menjawab, “Hal itu bisa terjadi karena adanya konstruksi sosial, sebuah pemahaman yang diproduksi oleh masyarakat bahwa seorang perempuan adalah sebuah obyek seksual. Sejauh masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai obyek dan lebih rendah dari laki-laki dalam konteks berbagai hal apapun, itulah yang mengakibatkan perempuan akan dipandang rendah. Ketika dipandang rendah maka perempuan cenderung menjadi obyek pelecehan seksual.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]