Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kominfo menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Paradigma Pendidikan Anak dalam Keluarga di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 22 Juli 2021 di Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Agenda ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Alviko Ibnugroho (financologist), H Benyamin Davnie (Wali Kota Tangerang Selatan), Thohirudin (Ketua Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI)), dan Dr Lisa Adhrianti SSos MSi (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Alviko Ibnugroho memulai webinar dengan memaparkan, orangtua adalah yang paling bertangggung jawab terhadap efek negatif penggunaan gadget pada anak, karena merekalah yang pertama kali mengenalkan.

“Tantangan mendidik anak di era digital untuk mempersiapkan generasi Alfa adalah dengan melalui pendidikan agama, mengajarkan sopan santun, menanamkan family values, meningkatkan kemauan berjuan, dan membiasakan sosialisasi,” paparnya.

Masalah utama orangtua zaman sekarang adalah terkadang kita ingin mengajarkan segala hal kepada anak. Namun, keterbatasan waktu dan sumber daya membuat kita merasa dibatasi dan mengorbankan pembelajaran.

“Di sisi lain tugas orangtua mempersiapkan anak menghadapi zamannya. Sekarang ini kita mulai memasuki era digital. Kita sebagai orangtua, sebaiknya sudah mempersipkan anak menghadapi era digital ini dan era kedepannya,” imbuhnya.

H Benyamin Davnie menambahkan, digital ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari.

“Ada etika ketika bermedia sosial yang harus diketahui dan untuk diajarkan kepada anak. Salah satu caranya dengan berhati-hati dalam menyebarkan informasi pribadi (privasi) ke publik,” ungkapnya.

Selain itu, gunakan etika atau norma saat berinteraksi dengan siapapun di media sosial. Hati-hati terhadap akun yang tidak dikenal, pastikan unggahan di akun media sosial tidak mengandung unsur SARA. “Manfaatkan media sosial untuk membangun jaringan atau relasi dan menunjang proses pengembangan diri,” imbuh Benyamin.

Thohirudin ikut menjelaskan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Saat ini, penduduk Indonesia berjumlah 267 juta jiwa, 81,2 Juta keluarga, dan 84,4 juta anak.

“Ada empat pilar pembangunan anak menurut Pasal 72. UU No.35/2014. Yaitu media, pemerintah, masyarakat, dunia usaha. Dari empat pilar tersebut ada kewajibannya yang meliputi protect (kewajiban melindungi anak), respect (kewajiban menghormati hak anak), dan fulfill (kewajiban memenuhi hak anak),” paparnya.

Sebagai upaya menjalankan empat pilar tersebut, saat ini dicanangkan program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dengan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.

Sebagai pembicara terakhir, Lisa Adhrianti mengatakan, digital parenting merupakan model pola pengasuh anak yang disesuaikan dengan kebiasaan anak, yang begitu akrab dengan perangkat digital.

“Prinsipnya, menanamkan sikap bijak berperilaku di internet serta tetap menerapkan aturan agar anak tidak sampai kelewat batas,” katanya. Menurut Lisa, aspek keselamatan dan keamanan anak di media digital meliputi adanya perundungan (bullying), pelecehan seksual dan pornografi, perdagangan orang, penipuan, pencurian data pribadi, kekerasan, dan kecanduan.

Selain itu, panduan orangtua agar anak Indonesia aman di perangkat digital, yakni anak perlu memahami adanya cybercrime dan UU ITE, termasuk kriteria pelanggaran pada media sosial, unggah konten yang aman dan positif, unggah foto dan karya sendiri, bebas berekspresi tapi terbatas.

Lalu, orangtua dan guru juga perlu untuk selalu lindungi data pribadi anak, dan selalu mendampingi. “Alternatif strategi digital parenting dengan perkenalkan digital ke anak sejak dini, batasi penggunaan gadget, orangtua pembelajar, berteman di media sosial, fungsi kontrol, dan jadi teladan,” ujar Lisa.

Dalam sharing session KOL, Nindy Gita mengatakan, pendidikan sebagai orangtua tidak diajarkan di sekolah. Literasi digital merupakan salah satu langkah yang bisa kita lakukan untuk mengedukasi diri kita sendiri sebagai orangtua di era digital seperti sekarang.

“Peran teknologi di dalam pendidikan tentu sangat penting, mungkin seperti pisau bermata dua ada dampak positif dan juga negatif. Tentunya semenjak Covid semua sektor terutama pendidikan langsung cepat atur strategi bagaimana bisa kondusif lagi salah satunya dengan cara secara online,” katanya.

Salah satu peserta bernama Julia menanyakan, bagaimana cara yang efesien dalam mendidik anak yang sudah kecanduan ponsel? Sebab, hal ini cukup mengkhawatirkan.

“Untuk anak yang sudah sangat kecanduan, tidak ada kata lain kita harus terjun langsung memonitoring dengan masuk ke dunia mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan pelan-pelan, jika dilakukan dengan cara terburu-buru kemungkinan akan menyerang psikologi mereka,” jawab Thohirudin.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Cilegon. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]