Kita sebagai pengguna media digital dan warga negara Indonesia harus memanfaatkan ruang digital dengan positif sembari menerapkan batasan etika, termasuk kebebasan berekspresi. Ruang digital ini menjanjikan kemudahan dan kebebasan, terutama ketika memiliki keahlian teknik lebih dapat memanfaatkan ruang digital tanpa batas.

Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Kebebasan berekspresi juga mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama atau dengan kata lain cerminan dari dalam diri.

Walau begitu, terdapat indikasi masalah keadaban pengguna internet di Indonesia oleh survei Digital Civility Index tahun 2020 yang dilakukan Microsoft. Hampir separuh pengguna internet di Indonesia terlibat dalam perilaku yang buruk dari berbagai generasi. Isu tersebut membuat dibutuhkannya batasan dalam kebebasan internet.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Paham Batasan di Dunia Tanpa Batas: Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital”. Webinar yang digelar pada Senin, 15 November 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Bevaola Kusumasari (Pengajar Fisipol UGM dan IAPA), Sopril Amir (Tempo Institute), Anang Dwi Santoso (Dosen Universitas Sriwijaya dan IAPA), Maryam Fithriati (Co-Founder Pitakonan Studio and Management dan Pegiat Literasi Komunitas), dan Mujab MS (Abang Jakarta 2018) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Sopril Amir menyampaikan bahwa salah satu batasan yang perlu diterapkan dalam berinteraksi di ruang digital adalah etika digital. Pengguna internet yang berasal dari berbagai latar belakang dengan bahasa, budaya, dan keyakinan masing-masing memungkinkan terjadinya salah paham dan permusuhan.

Kekaburan identitas (anonymity) karena ketidakhadiran fisik sangat membuka kemungkinan untuk bertindak buruk tanpa ketahuan harus membuat pengguna untuk tahan diri dan waspada. Selain batasan moral melalui etika, terdapat batasan hukum yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (11/2008 diperbarui 10/2016). Dalam UU tersebut terkandung Pasal 27 mengenai kesusilaan penghinaan, nama baik, ancaman dan pemerasan.

“Pasal 28 mengenai kebencian permusuhan terkait SARA, dan Pasal 29 mengenai ancaman kekerasan pribadi. Etika pada dasarnya mengenai menentukan baik dan tidaknya suatu hal dan bagaimana mengontrol diri. Berpikirlah sebelum bicara, dan bahkan membacalah sebelum berpikir sehingga membuat kita terhindar dari sembarang berbicara dan menghakimi,” jelasnya.

Mujab MS selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa dampak media digital tergantung kepada penggunanya. Ketika kita tidak berkontribusi pada membuat ekosistem digital yang aman dan nyaman, pastinya akan berdampak negatif. Suburnya penyebaran hoaks, hate speech, dan perundungan bukan masalah dari media digital tapi dari perilaku netizennya sendiri yang memiliki kendali sepenuhnya untuk dapat memproduksi hal-hal yang positif dan bermanfaat.

Penetrasi internet yang tinggi membuat pentingnya mengetahui tata cara dan batasan-batasan kebebasan berekspresi, serta berperilaku positif dan produktif dalam memanfaatkan ruang digital untuk menjadi warga digital yang baik. Media digital menyediakan berbagai peluang seperti kepentingan pendidikan, komersial, dan tujuan-tujuan positif lainnya.

Kita harus terus belajar dan memperdalam literasi digital untuk bisa terliterasi, seperti mengurangi dan mengolah informasi yang tepat, bagaimana berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan mengedepankan Pancasila dalam berinternet. Selain itu, kita harus memiliki pemikiran terbuka, dan perlunya support satu sama lainnya seperti cek fakta atas informasi yang diterima.

Salah satu peserta bernama Dony Sutriawan menyampaikan, “Dalam pembatasan berekspresi di dunia digital, di luar sana masih banyak yang menjadikan dunia digital sebagai tempat untuk menyalurkan emosi entah dalam bentuk negatif maupun positif. Hal yang perlu diperhatikan ialah yang negatif, seperti membuat akun Instagram yang berisikan luapan emosi. Bagaimana kita harus bersikap serta bertindak, dan hal aman dan nyaman apa yang harus dilakukan?”

Pertanyaan tersebut dijawab Bevaola Kusumasari. Dalam setiap kondisi terdapat sisi positif dan negatif, dan kita tidak akan bisa melarang segala hal. Hal yang bisa dilakukan dalam konteks digital adalah untuk membentengi dari segala ancaman risiko digital seperti mengenai link phishing atau spam sembari terus mengasah dan belajar atas ancaman-ancaman terbaru.

“Program webinar literasi digital ini selama berjalan 6 bulan, diharapkan para partisipan dapat membantu menyebarkan ilmu-ilmu dan informasi yang didapat ke banyak orang, setidaknya sadar atas pemikiran dasar mengenai literasi digital. Namun untuk lebih efektif lagi selain melalui edukasi harus melakukan pelatihan, diharapkan oleh Kominfo melalui pemerintah daerah. Kriminalitas akan selalu terus meningkat sehingga kita harus terus belajar untuk terus meningkatkan kecakapan bagaimana menghadapinya,” jawabnya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]