Stabilitas bangsa mensyaratkan sistem keamanan yang kuat, termasuk di laut. Dinamika ekonomi, politik, dan teknologi membawa pengaruh sangat besar terhadap dinamika keamanan laut. Berbagai tantangan keamanan laut saat ini tidak lagi terbatas pada tantangan tradisional, tapi juga meluas pada tantangan non-tradisional, termasuk ancaman yang disebabkan perubahan iklim.
Memahami bentuk dan sumber ancaman keamanan laut, serta tingkat kewaspadaan dan kemampuan sistem keamanan laut nasional saat ini menjadi penting untuk menyusun rencana penguatan sistem keamanan laut nasional sehingga mampu mengawal target-target pembangunan, khususnya dalam sektor kelautan.
Berangkat dari kondisi tersebut, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bermitra dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menyelenggarakan seminar dan lokakarya tentang keamanan laut bertajuk “Pembangunan Keamanan Laut untuk Mendukung Pencapaian Target RPJPN 2025-2045”.
Dalam sambutan kunci sekaligus pembuka seminar luring dan daring pada Rabu (5/7/2023), Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan, secara umum, situasi geopolitik nasional cukup stabil. Namun, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan keamanan laut yang terkait dengan perkembangan teknologi.
“Jika tak lekas tertangani, perkembangan teknologi dapat memfasilitasi kriminalitas berbasis maritim (maritime cyber risk),” katanya.
Salah satu Visi Emas RPJPN 2025-2045, lanjut Mahfud, adalah pembangunan sektor kelautan yang keberhasilannya ditopang keamanan laut. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Mahfud mengajak semua pemangku kepentingan laut Indonesia untuk memiliki pemahaman yang sama; mengutamakan kepentingan negara; mengutamakan kepentingan nasional; mengutamakan kepentingan bersama dalam penanganan keamanan, menjaga kedaulatan dan wilayah teritorial laut dalam tata kelola; dan harus terkoordinasi dengan baik.
Menkopolhukam secara khusus mengingatkan semua pemangku kepentingan laut Indonesia untuk bersinergi dan berkoordinasi dengan baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.
Sementara itu, dalam sambutan pengantar CEO IOJI Mas Achmad Santosa mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa: there will be no development without peace or security, and there will be no peace or security without development dan menekankan bahwa sistem keamanan laut yang responsif dan tangguh merupakan prasyarat pembangunan.
Mas Achmad menyatakan arah pembangunan yang sudah ditetapkan dalam RPJPN 2025-2045 perlu dikawal dan disempurnakan, termasuk salah satunya aspek keamanan laut. Sehingga, berbagai dinamika yang ada di depan dapat diatasi. “IOJI berkomitmen untuk terus menyuarakan dan mendukung pemerintah untuk penguatan sistem keamanan laut,” lanjutnya.
Panel pertama
Seminar “Pembangunan Keamanan Laut dalam RPJPN 2025-2045” dibagi dalam dua panel. Panel pertama menghadirkan tiga narasumber, yakni anggota Komisi 1 dan Badan Legislasi DPR RI Christina Aryani; Kepala Badan Keamanan Laut RI Laksamana Madya TNI Aan Kurnia; dan Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda TNI Denih Hendrata mewakili KSAL.
Christina memaparkan pandangannya mengenai pentingnya strategi keamanan laut nasional. Menurutnya, saat ini terdapat belasan instansi yang memiliki tugas dan fungsi tata kelola laut. Dengan banyaknya instansi tersebut dan sumberdaya yang terbatas, organisasi yang ramping akan memampukan pendayagunaan sumber daya patroli dan pengawasan yang efektif.
“Namun, sepertinya mustahil untuk memberikan tanggung jawab kepada hanya satu lembaga saja mengingat banyaknya pulau di Indonesia. Apapun bentuknya, DPR RI mendukung perbaikan tata kelola keamanan laut, pembentukan legislasi pasca evaluasi PP dan Perpres, pengawasan kinerja mitra terkait keamanan laut, termasuk keberpihakan anggaran,” lanjut Christina. Ia menambahkan bahwa inisiatif RUU Kelautan harus datang dari pemerintah.
Aan Kurnia dalam paparannya dengan tema “Strategi dan Langkah-Langkah Membangun Tata Kelola Keamanan Laut yang Terpercaya dan Profesional” mengungkapkan beberapa kondisi faktual di perairan dan yurisdiksi Indonesia, di antaranya ancaman terbesar Indonesia masih seputar illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing diikuti oleh tindak pidana di laut, pencemaran, dan kejahatan maritim berbasis siber; kehadiran pemerintah di laut dan pengamatan maritim belum 24/7; dan adanya tumpang tindih aturan terkait pengawasan dengan fungsi dan kewenangan yang terbatas.
Ia mengungkapkan beberapa konsep yang dapat mendukung transformasi penegakan hukum di laut, baik jangka pendek maupun jangka panjang. “Dalam jangka pendek, meningkatkan sinergitas pengelolaan keamanan laut dan revisi UU 32/2014 tentang Kelautan. Sementara untuk jangka panjang dapat dilakukan melalui penataan regulasi terhadap UU terkait di bidang keamanan laut melalui UU Omnibus Law Keamanan Laut,” katanya.
Paparan diakhiri Denih Hendrata. Dalam paparan yang bertema “Memaknai Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta untuk Pertahanan dan Keamanan Negara Kepulauan”, Denih menyatakan TNI AL memiliki beberapa strategi pertahanan maritim.
“Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) bukanlah strategi pertahanan negara yang Angkatan Laut sentris, melainkan sebuah strategi pertahanan yang mengedepankan critical capabilities Indonesia sebagai negara kepulauan dengan konsep pertahanan berlapis yang diimbangi dengan pembangunan kekuatan Tri Matra Terpadu yang seimbang, inter-operable, dan sinergis,” ujar Denih.
Panel kedua
Diskusi berlanjut pada panel kedua dengan narasumber Bobby Adhityo Rizaldi yang merupakan anggota Komisi I dan Co-chair Kaukus Kelautan DPR-RI. Bobby menyampaikan paparan dengan judul “Pembangunan Keamanan Laut Berbasis Grey Zone Operation dalam Mendukung Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.”
Bobby mengatakan, kejahatan di laut termasuk perbudakan di atas kapal masih marak terjadi terhadap warga negara Indonesia. Untuk merespons permasalahan tersebut diperlukan penguatan regulasi, infrastruktur, dan kelembagaan yang mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan pemangku kepentingan laut,” katanya.Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi IUU fishing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Ia secara khusus merujuk pada Grey Zone Operation Tiongkok di Laut Cina Selatan, tempat terjadinya pelbagai pelanggaran yang turut merugikan Indonesia. Untuk mengantisipasinya, Bobby berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia membutuhkan organisasi sipil yang diterima secara internasional dan berkapasitas seperti paramiliter, sehingga Indonesia siap menghadapi Grey Zone Operation seperti yang dilakukan Tiongkok di Laut Cina Selatan.
Narasumber selanjutnya, Bogat Widyatmoko, Deputi Bidang Politik Hukum dan Keamanan Bappenas, menyampaikan paparan berjudul “Pembangunan Keamanan Laut dalam RPJPN 2025-2045 untuk Mengawal Pencapaian Target Pembangunan Jangka Panjang”.
Menurut Bogat, yang diperlukan adalah mengakselerasi transformasi kebijakan, strategi, dan program sebagai game changers untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Dalam sektor keamanan laut nasional, RPJPN 2025-2045 mendorong transformasi kelembagaan keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia yang terintergrasi dalam payung hukum tunggal.
Transformasi tersebut perlu dilakukan untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum (KKPH) di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia yang efektif dan efisien berbasis teknologi.
Narasumber terakhir adalah Collin SL Koh dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura. Dalam paparan “Regional Maritime Security Challenges: Now and the Next 20 Years”, Collin menyampaikan, tantangan non-tradisional seperti IUU fishing, perdagangan ilegal, dan pencemaran laut akan tetap ada hingga 20 tahun mendatang.
Collin menambahkan, situasi geopolitik di kawasan rawan konflik seperti di Laut Cina Selatan harus dianggap serius karena akan semakin mengeskalasi ancaman non-tradisional menjadi ancaman tradisional. “Alih-alih berkurang, koordinasi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan sudah seharusnya bertambah,” ia mengingatkan.
Usai seminar, diskusi berlanjut dengan lokakarya bersama perwakilan pemangku kepentingan utama keamanan laut Indonesia dari berbagai kementerian, lembaga, organisasi pemerintah, serta pakar keamanan laut dari Universitas Indonesia, Universitas Brawijaya, dan Rajaratnam School of International Studies, dalam rangka merumuskan rancangan strategi keamanan laut yang terintegrasi dengan RPJPN.
Tantangan keamanan laut ke depan harus dihadapi bersama-sama, tak bisa lagi secara sektoral. Kolaborasi berbagai pihak adalah kunci pencapaian target pembangunan jangka panjang 2025–2045.