gambar : www.bekraf.go.id

Pada beberapa kesem­patan, Kepala Bekraf Triawan Munaf menyata­kan optimismenya bah­wa industri kreatif mampu menyumbang hingga Rp 1.000 triliun dari total pendapatan domestik bruto (PDB). Kini, PDB sektor ekonomi kreatif sudah mencapai Rp 70 triliun per tahun. Berarti tidak lama lagi, seperempat PDB Indonesia akan berasal dari industri kreatif.

Survei BPS-Bekraf men­catat, kontribusi terbesar PDB in­dus­­tri kreatif ber­­­­asal dari subsektor kuli­ner, yaitu 41,69 persen. Di belakangnya, menyusul fashion (18,15 persen) dan kriya (15,7 persen). Selain itu, ada 4 subsektor yang tumbuh pesat, yaitu desain komunikasi visual, musik, animasi dan video, serta arsitektur.

Fakta inilah yang membuat Triawan optimistis, perekonomian Indonesia tidak lagi bergantung pada kekayaan alam di masa depan. Oleh karena itu, Bekraf akan terus mendorong kesadaran akan pentingnya sektor ekonomi kreatif.

Berbagai inisiatif

Selama ini, Bekraf sudah merilis banyak program untuk mendukung 16 subsektor ekonomi kreatif. Prioritas subsektor pun ditetapkan, yaitu subsektor aplikasi serta pengem­­bangan permainan, musik, dan film.

Upaya yang pernah diluncurkan untuk aplikasi dan pengembangan permainan sendiri cukup banyak. Bekraf, misalnya, menghelat Bekraf Developer Day, Bek Up, dan Bekraf Game Prime untuk menjaring potensi pemuda Indonesia di bidang teknologi informasi dan permainan digital. Bekraf juga membantu mereka berpameran di beberapa ajang internasional arus utama, seperti Tokyo Game Show.

Sedangkan untuk program film, Bekraf pertama mengajukan film untuk dikeluarkan dari daftar negatif investasi (DNI) dan berhasil. Lainnya, Bekraf bekerja sama deng­an Torino Film Lab, Docs By The Sea, dan Akatara-Indonesia Film Financing Forum untuk menja­ring potensi sineas muda Indonesia supaya bisa lebih berkembang. Bekraf juga membuka paviliun Indonesia di ajang Cannes Film Festival untuk membangun jaringan perfilman Indonesia di luar negeri. Bekraf bahkan mempromosikan beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan tempat pembuatan film bagi sineas luar negeri.

Ini hanyalah sebagian dari program Bekraf untuk mendorong industri kreatif di Indonesia. Meski demikian, ternyata masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahui secara jelas upaya dan kerja keras Bekraf. Terkait hal itu, Bekraf akan menggelar Bekraf Festival, sebuah acara yang berkaitan kuat dengan ekonomi kreatif dan merepresentasikan kerja Bekraf sepanjang 2015–2017.

Bekraf Festival

Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Boy Berawi mengatakan, Bekraf Festival akan menampilkan seluruh program kerja beserta hasilnya dari setiap kedeputian di Bekraf. Acara ini akan menjadi ajang bertemunya para pelaku kreatif. Event akan diisi diskusi, pelatihan, performance/penampilan pelaku-pelaku kreatif binaan Bekraf. Tujuannya, masyarakat bisa me­mahami kinerja dan hasil yang dicapai Bekraf sesuai dengan dengan rencana strategisnya, yaitu meningkatkan kontribusi PDB, jumlah lapangan kerja, dan kualitas produk ekspor.

“Bekraf adalah lembaga baru yang dibentuk kabinet kerja Presiden Joko Widodo. Maka, perlu disampaikan pada masyarakat mengenai keberadaan, ruang ling­kup, dan tanggung jawab Bekraf,” ujarnya. Bekraf Festival akan diadakan selama 4 hari, 7-10 Desember 2017 di Bandung, Jawa Barat. Acara ini berlangsung di dua tempat, yaitu Bandung Creative Hub dan Gudang PT KAI di Cikudapateuh.

Benno Ramadian, salah satu steering committee acara ini menjelaskan, akan ada 14 sharing session tentang upaya membangun ekosistem 16 subsektor ekonomi kreatif di bawah 6 kedeputian. Selain itu, ada performing art dari kelompok dan komunitas yang selama ini didukung Bekraf, fashion show, pameran produk kreatif, dan video mapping dari program-program unggulan Bekraf.

Di sini, masyarakat dapat melihat karya inovatif unggulan hasil penelitian dan pengembangan terkait ekonomi kreatif, juga hasil akselerasi dalam pengembangan industri atau unit bisnisnya.

“Saya berharap Bekraf Festival mampu mendorong masyarakat ikut berinovasi di bidang ekonomi kreatif dan menjaring apresiasi masyarakat, terutama masyarakat Bandung. Sebab, Bandung sudah dipilih sebagai kota kreatif karena komunitas dan ekosistem kreatifnya sudah terbentuk,” ujarnya. [VTO]

Gagas Kolaborasi Lintas Negara

Ekonomi kreatif menjadi salah satu pilar paling penting dalam sektor ekonomi di Indonesia. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 menyebutkan, dalam waktu kurang dari 3 tahun, ekonomi kreatif telah menyumbang 7,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp 852 triliun.

Sektor ekonomi kreatif juga menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,9 persen) dan mencatatkan nilai ekspor 19,4 juta dollar AS (12,88 persen). Potensi besar ini masih begitu luas untuk dieksplorasi. Keseriusan untuk menggarap ekonomi kreatif menjadi kunci untuk menjajaki peluang-peluangnya yang tak terbatas.

Untuk mendukung perkembangan sektor ekonomi kreatif, upaya-upaya untuk mendukung peningkatan kapasitas pelaku dan pertumbuhannya secara komersial menjadi begitu penting. Di sisi lain, masih banyak negara yang mengabaikan potensi ekonomi kreatifnya. Melihat hal itu, ada kebutuhan mendesak di antara negara-negara di dunia untuk berkolaborasi, mengidentifikasi langkah-langkah strategis dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya industri kreatif.

“Dunia melihat tantangan dalam pembangunan ekonomi kreatif, tidak terkecuali Indonesia dengan berbagai pasar potensial yang belum dimanfaatkan. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya kesadaran akan hak atas kekayaan intelektual dan bagaimana mengelolanya untuk menghasilkan pendapatan. Tantangan lainnya, di antaranya, hanya sedikit institusi yang mengurusi ekonomi kreatif, infrastruktur teknologi, inovasi, ekspansi pasar, penguatan kapasitas, dan mekanisme permodalan,” ujar Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah W Sulistianti.

Ciptakan Dialog

Melihat pentingnya kerja sama antarnegara dan institusi dalam memajukan ekonomi kreatif, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun menginisiasi penyelenggaraan The World Conference on Creative Economy (WCCE) untuk menciptakan dialog tentang ekonomi kreatif. WCCE rencananya akan berlangsung di Bali pada 3–4 Mei 2018. Konferensi berskala internasional dengan tema utama “Inclusively Creative” ini akan mempertemukan perwakilan dari pemerintah, pengusaha, para pemikir, komunitas, organisasi internasional, media, dan ahli di bidang ekonomi kreatif.

Tema “Inclusively Creative” dicetuskan dari keyakinan bahwa industri kreatif membawa era baru pada dunia bisnis. Kini, bisnis tidak lagi eksklusif hanya digerakkan mereka dengan modal yang besar, tetapi bisa dibangun dari level mana saja oleh siapa saja. Batas-batas geografis pun tak lagi berarti karena internet dan teknologi lain memungkinkan semua orang di seluruh dunia untuk berkolaborasi.

Hal tersebut menjadikan posisi ekonomi kreatif unik sebagai katalis untuk meningkatkan relasi ekonomi dan kultural. Dengan memberikan kesempatan yang setara untuk semua orang tanpa memandang usia, jender, latar belakang, maupun lokasi geografis, ekonomi kreatif akan menjembatani terciptanya kekompakan di seluruh masyarakat.

WCCE rencananya akan dibagi ke dalam sejumlah topik, antara lain The Butterfly Effect: Dampak Sosial Ekonomi Kreatif (Social Cohesion), Menghasilkan Peraturan Kreatif yang Tepat, Memberikan Penawaran Industri Kreatif agar Tidak Ditolak, Membawa Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Enterprise ke Level Baru, dan Masa Depan Ekonomi Kreatif.

Sebelum penyelenggaraan konferensi tersebut, Bekraf akan mengadakan rapat persiapan WCCE yang berlangsung di Bandung pada 4–7 Desember 2017. Pertemuan tersebut diselenggarakan dengan format panel dengan bahasan empat topik besar, yaitu kebijakan, ekosistem, kohesi sosial, dan marketing. Hasilnya yang berupa rekomendasi akan dibawa dan dibahas lebih lanjut pada WCCE tahun mendatang. [NOV]

Berpadu Paparkan Pandangan

Ekonomi kreatif diyakini berkontribusi besar pada perekonomian negara. Menilik angka, potensi ekonomi kreatif untuk bisa mewujudkan hal itu sangat besar. Berdasarkan Survei BPS-Bekraf, ekspor ekonomi kreatif pada 2014–2015 meningkat sebesar 6,6 persen. Pada saat yang sama, ekspor produk nonmigas justru mengalami penurunan sebesar 9,71 persen.

Walaupun demikian, sejauh manakah data ini bisa digunakan oleh kalangan pemangku kebijakan, para pebisnis, akademisi, atau stakeholder yang lain? Padahal, seharusnya data ini bisa dimanfaatkan untuk bisa memaksimalkan potensi ekonomi kreatif yang kini tengah menanjak performanya.
Kondisi ini membuat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) berinisiatif untuk meluncurkan Opus, sebuah buku berisi outlook tentang ekonomi kreatif. Buku ini disusun oleh akademisi dan praktisi. Menurut Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik, buku ini akan memberikan gambaran lebih luas lagi tentang ekonomi kreatif di Indonesia.

“Selama ini, data hanya didapatkan dari BPS dan hasilnya berupa statistik. Namun, di buku ini, dari statistik itu kemudian digali lebih dalam insight-nya sehingga hasilnya lebih kaya dan yang jelas ada perspektif industri di dalamnya,” ujarnya.
Buku ini tidak hanya diluncurkan dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa diunduh dalam bentuk buku elektronik (e-book). Ricky menambahkan, buku ini bisa diunduh secara gratis di situs resmi Bekraf.

Mikro dan makro

Opus akan diluncurkan pada acara Indonesia Creative Economy Outlook 2017 Conference yang diadakan oleh Bekraf di Djakarta Theater XXI Ballroom, Jakarta, pada Selasa (28/11). Konferensi ini menjadi penting karena Bekraf bisa secara langsung menampilkan gambaran maupun prediksi ekonomi kreatif pada tahun mendatang.

“Acara ini juga menjadi kesempatan bagi Bekraf untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang pencapaian dan kinerja yang telah dilakukannya. Selain itu, melalui acara ini, diharapkan tantangan ekonomi kreatif pada masa depan bisa dihadapi,” ujar Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan Bekraf Boy Berawi.

Dalam konferensi ini, seluruh kedeputian Bekraf akan memberikan pemaparan outlook tentang kondisi ekonomi kreatif. Bekraf juga mengajak lembaga lain yang memiliki data terkait perkembangan ekonomi kreatif untuk ikut memberikan pemaparan tentang insight dan tren terkait. Beberapa lembaga itu adalah Gojek, Nielsen Indonesia, Intel Indonesia, Price Waterhouse Cooper, dan Hakuhodo Indonesia.
Boy menambahkan, lembaga-lembaga itu dipilih karena memiliki data yang lebih spesifik untuk mendukung perkembangan ekonomi kreatif. Gojek, misalnya. Keluasan cakupan bisnisnya memungkinkan untuk menghimpun data tentang kebiasaan konsumen. Lain lagi dengan Hakuhodo Indonesia yang punya riset tentang generasi milenial.

“Riset yang dimiliki Bekraf sudah pasti bersinggungan dengan riset dari lembaga lain, termasuk dari lembaga riset internasional. Jadi, kita berinisiatif untuk menggabungkannya dengan data dari lembaga lain. Riset kita kemungkinan bersifat makro, sedangkan lembaga lain mungkin lebih mikro dan spesifik. Oleh karena itu, kita pertemukan saja agar bisa saling melengkapi,” ujar Boy.

Indonesia Creative Economy Outlook 2017 Conference merupakan kesempatan bagi Bekraf untuk memperlihatkan gambaran data ekonomi kreatif terkini. Dari sini, diharapkan, para pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi kreatif bisa memanfaatkan pemaparan ini untuk menentukan langkah strategis mendorong sektor ini semakin berpengaruh bagi perekonomian Indonesia. [VTO]