Demokrasi tentunya ada aturan main, dengan memiliki basis konsensual yang resmi atau musyawarah mufakat bersama dengan asas kebenaran. Kita harus memiliki kedewasaan dalam proses demokrasi ini dengan mengikuti aturan bermain tersebut. Demokrasi merupakan kontes ide-ide yang diwadahi di ruang publik dengan melalui negosiasi gagasan melalui diskursus untuk mencapai konsensus.

Terkait itu, ranah digital yang begitu terbuka dan luas idealnya berkontribusi pada hal tersebut. Dalam konteks berinteraksi di media digital dan internet, agar dapat menjunjung tinggi nilai demokrasi, pengguna media digital sebaiknya tidak boleh melakukan respons dengan kekerasan. Selalu ciptakan kondisi yang civil dengan cara menghormati keputusan akhir serta mengikuti etika dan aturan bermain.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Bangun Demokrasi di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Rabu, 29 September 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Tauchid Komara Yuda SSos MDP (Dosen Fisipol UGM dan IAPA), Novita Sari (Aktivis Kepemudaan Lintas Iman), Fajar Nursahid (Direktur Eksekutif LP3ES Jakarta dan Dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie Jakarta), Dr Ayuning Budiati SIP MPPM (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan IAPA), dan Fadhil Achyari (2nd Runner Up The New L-Men of The Year) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Fajar Nursahid menyampaikan bahwa di era digital saat ini perlu diimbangi dengan budaya baru yang kritis, fungsi nalar sangat penting. Demokrasi ditandai oleh bekerjanya nalar terhadap konten-konten dan berbagai hal yang ditemui. Kita harus menimbang nilai dan falsafah luhur bangsa yang terdapat dalam aspek-aspek dan nilai Pancasila sebagai norma, seperti religiusitas, martabat kemanusiaan, toleransi (bersatu dalam perbedaan), berorientasi konsensus (musyawarah), dan bersikap setara dan adil.

“Literasi digital sangat penting diterapkan karena akan membiasakan kita sebagai pengguna media digital untuk melakukan double check kredibilitas sumber literatur untuk mendukung sebuah argumentasi. Mengenai kebebasan berpendapat dari masyarakat masih terdapat ancaman yang relatif tinggi dan intens. Demokrasi yang pada dasarnya mewadahi kepentingan dan pandangan yang berbeda membuat hal ini krusial,” jelasnya.

Fadhil Achyari selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa saat ini masyarakat sudah sangat mudah mengemukakan pendapat, walaupun masih banyak yang melewati batasan karena pada dasarnya kita tidak bisa asal berkomentar sambil mengikuti etika. Menurutnya, saat ini sudah menuju ke arah yang lebih baik, dengan sebaiknya menghindari menyampaikan pendapat yang di luar pemahaman dan keahlian kita untuk tidak mengucapkan hal-hal yang dapat menyinggung orang lain.

Kita harus mampu posisikan diri sendiri di posisi orang lain ketika perkataan dan ucapan yang dilontarkan menyakiti orang tersebut, karena dapat berdampak bukan hanya kepada suatu individu namun dapat menyebar ke suatu kelompok. Kita harus mengetahui cara bagaimana menghargai perbedaan yang ada, terutama di negara yang beragam ini; perlunya rasa hormat terhadap berbagai pendapat yang dilontarkan. Untuk merasa dihargai oleh orang lain, kita sendiri harus menghormati orang lain.

Salah satu peserta bernama Tyas Maharani menyampaikan, demokrasi sebelum pemilu 2019 diwarnai dengan munculnya istilah-istilah panggilan samaran, serta meningkatnya ujaran kebencian dan hoaks menjelang pemilu 2019. Sedangkan demokrasi siber sesudah pemilu cenderung dibatasi oleh pemerintah, khususnya dalam hal ini munculnya pembatasan akses media sosial ketika unjuk rasa terjadi atas protes dari hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU RI.

“Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pembatasan akses media sosial dapat dikatakan telah mencederai demokrasi dalam dunia digital, dan tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan HAM, ataukah justru hal ini menjadi berguna untuk meningkatkan kesadaran dalam hal bermedia sosial agar bukan membiasakan berujar kebencian melainkan mengkritik disertai solusi untuk hal yang dibahas?” tanyanya.

Pertanyaan tersebut dijawab Tauchid Komara Yuda. “Kita dapat merefleksikan pengalaman terhadap pemilu saat itu. Prinsip demokrasi dalam menjamin keleluasaan kita dalam berekspresi, yang dimengerti sejalan dengan kebebasan orang lain. Tugas negara untuk mengatur antar manusia untuk bebas tanpa melewati batas, sehingga kebebasan tersebut dapat didistribusikan secara merata untuk seluruh masyarakat. Tindakan untuk memancing ekstrimis atau konflik membuat wajar pemerintah untuk menginterupsi aksi-aksi tersebut.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.