“Green airport” Bandara Banyuwangi meraih penghargaan bergengsi di bidang arsitektur dunia, yaitu The 2022 Aga Khan Award for Architecture (AKAA). Penghargaan ini diumumkan langsung dari Genewa, Swiss, pada Kamis (22/9/2022).

Bandara Banyuwangi berhasil menyisihkan 463 nomine bangunan dengan arsitektur terbaik dari seluruh dunia, yang kemudian disaring menjadi 20 nomine, dan kini ditetapkan 6 pemenang. Bandara berkonsep hijau pertama di Indonesia ini bersanding dengan sejumlah gedung tersohor lainnya di dunia yang sama-sama mendapat penghargaan ini.

Selain Bandara Banyuwangi, peraih lain AKAA 2022 adalah Urban River Spaces (Bangladesh), Community Space in Rohingnya Refugee Response (Bangladesh), Argo Contemporary Art Museum and Cultural Centre (Teheran, Iran), Renovation of Niemeyer Guest House (Tripoli, Lebanon), dan Kamanar Secondary School (Thionck Essyl, Senegal).

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Aga Khan Development Network (AKDN), penghargaan ini menekankan pada karya arsitektural yang tidak hanya mampu menyediakan kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat, tetapi juga merespons aspirasi budaya mereka. “Bangunan ini memperluas bahasa lanskap yang menggabungkan arsitektur, fungsionalitas, dan pengaturan disposisi yang baik. Modern dan efisien dalam segala aspek,” demikian pernyataan AKDN.

Aga Khan Award for Architecture didirikan oleh Aga Khan pada 1977 untuk mengidentifikasi dan mengapresiasi konsep arsitektur yang berhasil mewadahi keperluan dan aspirasi masyarakat. Sejak diluncurkan 45 tahun lalu, tak kurang 121 proyek telah menerima penghargaan dan hampir 10.000 proyek sedunia telah didokumentasikan.

Menanggapi penghargaan itu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menyatakan kebanggaannya. Hal ini akan semakin menguatkan nama Banyuwangi di tingkat internasional.

“Penghargaan ini menambah prestasi Banyuwangi di level dunia. Setelah Geopark Ijen lolos sidang dan segera ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark beberapa waktu lalu, juga sebagai juara dunia bidang kebijakan pariwisata dari UNWTO, kini dilengkapi dengan penghargaan tingkat dunia untuk bandara,” ungkap Ipuk, Jumat (23/9).

Bandara Banyuwangi, imbuh Ipuk, merupakan ikon arsitektural di ujung timur Jawa. Dengan mengedepankan konsep gedung ramah lingkungan, tanpa AC kecuali di ruangan tertentu, sekaligus mengedepankan simbol-simbol budaya lokal khas masyarakat setempat. Atap terminal dipenuhi tanaman. Konservasi air menyejukkan suasana. Adapun sunroof dan ruang-ruang terbuka dengan sinaran matahari menjadi sumber cahaya alami di siang hari.

“Jika kita perhatikan, bentuk Bandara Banyuwangi ini mirip dengan udeng khas Suku Osing. Ini adalah representasi dari akomodasi simbol-simbol lokal. Melengkapi konsep hijaunya,” ujar Ipuk.

Bandara Banyuwangi juga menjadi salah satu bukti kontinuitas program pembangunan diperlukan. Dimulai penyiapannya sejak era kepemimpinan Bupati Samsul Hadi (2000–2005) dan Bupati Ratna Ani Lestari (2005–2010), lalu dibangun dan dioperasikan di era kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas (2010–2021).

Pada saat akan membangun bandara, Anas sengaja tak ingin seperti bangunan bandara pada umumnya. Dia ingin Bandara Banyuwangi tidak hanya fungsional untuk fasilitas transportasi, tetapi juga estetis, hijau, dan menjadi landmark destinasi di Banyuwangi. Anas pun menggandeng arsitek Andra Matin untuk mewujudkan visinya membangun green airport. Akhirnya, terwujudlah Bandara Banyuwangi saat ini.

“Kami bersyukur kolaborasi kami dengan Pemkab Banyuwangi mendapat apresiasi dunia. Bandara Banyuwangi tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga sangat kental budaya lokal,” ujar Andra Matin saat berkunjung ke Banyuwangi beberapa waktu lalu. [*]