Venice Architecture Biennale (VAB) baru saja dibuka untuk publik pada 26 Mei dan akan terus berlangsung sampai 25 November 2018. Dalam ekshibisi yang bertema Freespace ini, Indonesia membawa karya bertajuk Sunyata, yang menawarkan perenungan lebih dalam akan makna arsitektur.
Pameran arsitektur yang pertama kali digelar pada 1980 ini menjadi etalase dalam perkembangan pemikiran terkait arsitektur di berbagai negara, menggugah kesadaran baru, sekaligus membuka ruang dialog. Tahun ini, sebanyak 63 negara berpartisipasi menampilkan paviliunnya masing-masing di Giardini dan Arsenale, Venesia.
Yvonne Farrel dan Shelley McNamara, kurator pameran arsitektur internasional La Biennale ke-16, mengangkat tema Freespace. Dalam konferensi pers, mereka menjelaskan sejumlah makna dari Freespace. Dikatakan, tema ini mendorong mereka untuk meninjau cara berpikir dan cara baru untuk melihat dunia, menilik kembali interaksi antara orang dan bangunan, serta memahami arsitektur dalam lapisan-lapisan waktu dan budaya.
Tahun ini, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menghadirkan Paviliun Indonesia pada ajang dua tahunan VAB. Melalui proses kurasi yang diadakan pada 2017, terpilihlah karya bertajuk “Sunyata: The Poetics of Emptiness”. Konsep ini diusung tim kurator yang diketuai Ary Indra dan beranggotakan David Hutama, Dimas Satria, Jonathan Aditya, Ardy Hartono, dan Johanes Adika.
Dalam konferensi pers yang digelar Mei lalu, Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik mengatakan, Sunyata dipilih karena narasinya sudah sesuai dengan tema yang ditentukan kurator VAB. “Menurut juri, Sunyata adalah karya yang paling kuat untuk menunjukkan arsitektur kontemporer Indonesia,” kata Ricky.
Mengalami inti arsitektur
“What if architecture has no shape and form?” Pertanyaan itu menjadi penggugah pertama soal kesadaran kita tentang bentuk arsitektur. Ary Indra mengatakan, ide dasar Sunyata memang membebaskan arsitektur dari bentuk dan rupa. Sunyata menciptakan dialog antara manusia dan ruang sebagai inti manifestasi arsitektural.
Instalasi Sunyata dibuat dikerjakan dengan tangan manusia, disusun dari 12 lembar kertas sepanjang 25 meter dengan lebar 1,2 meter. Dikaitkan dengan 9.600 jahitan dan 160 kancing kertas. Instalasi ini menggantung di dalam Arsenale, membelah ruang secara vertikal menjadi dua bagian. Ada rekahan di tengah kertas itu, yang mengundang orang untuk masuk, mengalami interaksi antara dirinya dan ruang kosong di sekitarnya. Ary mengatakan, ini semacam cara baru untuk menggugah kesadaran tentang ruang.
Pengunjung pun mengapresiasi karya ini. Salah satu apresiasi datang dari metropolismag.com yang memasukkan Paviliun Indonesia sebagai 10 paviliun terbaik di VAB.
“Banyak yang bilang, mereka menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dari pemikiran dalam arsitektur Barat yang selalu ditekan oleh material dan bentuk/rupa. Banyak yang merasa ini seperti nilai Timur yang sangat relevan dengan kondisi sekarang yang menganggap arsitektur adalah benda, possesion, dan pencapaian hidup yang pantas dipamerkan. Padahal, arsitektur justru harus menjadi ruang yang membebaskan, yang memberi pengalaman dan membiarkan imajinasi menjalar-jalar, karena peran utamanya adalah tubuh dan pikiran kita. Bukan bentuk, material, dan geometri,” kata Ary.
Selain karya utama itu sendiri, sejumlah foto proyek arsitektural yang juga relevan dengan fenomena ini juga dipamerkan. Mulai dari puing-puing kuno Taman Sari di Yogyakarta, bangunan poskolonial Stasiun Beos di Jakarta, dan karya arsitektural yang lebih kontemporer seperti Museum Tsunami di Banda Aceh maupun Jonas Studio di Bandung. Proyek-proyek ini mengukuhkan konsep “kekosongan” telah diterapkan di Indonesia sebagai alternatif yang mendasar untuk membebaskan pengalaman spasial.
Indonesia boleh lebih berbangga karena salah satu arsiteknya Andra Matin diundang secara pribadi ke VAB oleh kurator utama pameran ini untuk menampilkan karyanya. Andra pun menjadi arsitek Indonesia pertama yang diundang secara personal dan khusus ke VAB.
Andra menampilkan karya berjudul Elevation dan mendapatkan penghargaan Special Mention dari La Biennale. Kehadiran Paviliun Indonesia dan Andra Matin diharapkan menawarkan perspektif dan kemungkinan-kemungkinan baru tentang arsitektur Indonesia di masa mendatang. [NOV]
Semangat Mencerahkan
Untuk ke-11 kalinya, pameran seni kontemporer berskala internasional ArtJog kembali mengundang decak kagum. Mengangkat tema “Enlightenment: Towards Various Futures (Pencerahan: Menuju Berbagai Masa Depan)”, ArtJog 11 hadir lebih inovatif dan segar.
Bertempat di Museum Nasional Jogja, Yogyakarta, ArtJog 11 dikunjungi ribuan pengunjung sejak hari pertama dibuka, Kamis (4/5). Kurator ArtJog Bambang “Toko” Witjaksono menyebutkan, rata-rata pengunjung yang hadir mencapai 1.100 orang per hari. Pada 10 Mei, saat hari libur nasional, bahkan menyentuh angka 2.600 pengunjung.
Membludaknya pengunjung ArtJog salah satunya boleh dikatakan akibat berubahnya metodologi event yang digunakan oleh penyelenggara. Tahun ini, di bawah payung ArtJog, semua divisi diajak untuk menafsirkan tema pameran, baik divisi pameran karya seni, divisi panggung (tari, musik, pertunjukan), hingga divisi merchandise store.
“Sebelumnya, tema hanya digunakan pada pameran karya seni rupa. Dengan metodologi baru ini, semua kegiatan ArtJog punya benang merah yang terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh,” ujar Toko.
Tema pencerahan yang diangkat sudah dipikirkan sejak Agustus 2017 dan baru muncul pada awal November 2017 menjadi kelanjutan tema tahun lalu, “Changing Perspective”. Pencerahan dipilih karena perlunya sebuah momentum pencerahan pada diri manusia, terutama manusia Indonesia, karena munculnya beberapa kejadian yang tidak manusiawi belakangan ini yang disebabkan oleh perbedaan paham.
“Pencerahan menjadi momentum yang tentunya sangat memengaruhi masa depan. Oleh karena itu, tagline Towards Various Futures disematkan, dengan harapan setelah mendapatkan pencerahan, sebuah tindak lanjut berupa aksi nyata bisa dilakukan,” ungkap Toko.
Personal hingga filosofis
ArtJog 11 menampilkan lebih sedikit seniman dibandingkan tahun lalu. Kali ini, hanya 54 seniman yang hadir (tahun lalu ada 72 seniman). Namun, pada ArtJog 11, seniman bisa lebih fokus dan maksimal karena hampir setiap seniman menggunakan satu ruang tersendiri.
Dengan ruang yang lebih besar, bisa jadi seniman menjadi lebih leluasa menafsirkan tema yang berujung pada karya visual yang memukau. Toko menuturkan, tema enlightenment sangat luas maknanya. Mereka bisa menafsirkan tema itu menjadi berbagai macam seni, mulai dari sangat personal hingga filosofis.
Salah satu karya menarik sekaligus commission work dari Mulyana, misalnya. Seniman asal Jawa Barat ini mengangkat tajuk “Sea Remembers”. Mulyana menggunakan material dan teknik yang jarang dipakai dalam karya seni, yaitu teknik rajut. Mulyana membuat instalasi dunia bawah laut yang menampilkan pemandangan bawah laut, mulai koral warna-warni, gerombolan ikan, hingga bangkai ikan paus.
Instalasi ini menghabiskan sekitar 5.000 gulung benang wol. Dalam pengerjaannya, Mulyana sampai harus mengorganisasi ibu-ibu dari 4 kampung untuk membuat bagian per bagian instalasi berdiameter 12 meter dan tinggi 9 meter tersebut. Mulyana memulai proyeknya ini dari November 2017.
Melalui “Sea Remembers”, Mulyana mengangkat dualisme tentang dunia bawah laut, yang juga lekat dengan kondisi geografis Indonesia. Di sisi lain, laut menyimpan banyak potensi besar, tetapi sekaligus menghadirkan misteri. Ada ketakutan terhadap misteri di laut yang menyebabkan manusia seakan enggan mengeksplorasi laut. Karya Mulyana ini diletakkan di facade gedung pameran.
Karya yang ditampilkan lebih banyak karya instalasi, yang memperhatikan dan mengolah ruang. Ada yang menggunakan unsur komputerisasi atau mekanikal, ada yang mengolah unsur gerak, bunyi, cahaya, dan lainnya. Hanya 15 persen seniman yang menggunakan teknik konvensional.
Adapun ArtJog 11 lebih meriah karena juga menampilkan karya dari 9 seniman luar negeri. Mereka ada yang sebagai seniman undangan, tetapi ada juga yang lolos seleksi. Mereka adalah Jailani Abu Hasan dari Malaysia; Wawi Navarroza, Jigger Cruz, Ronald Ventura dari Filipina; Marcell Schwittlick dari Jerman; Hiromi Tango dari Jepang; Kexin Zhang dari China, Atif Akin dari Turki; dan Adam de Boer dari Amerika Serikat. Satu seniman dari Filipina yakni Ronald Ventura menjadi special invitation.
“Animo terhadap ArtJog semakin meningkat, terutama di kalangan muda yang melihat event ini sebagai tren yang harus dilihat dan dirasakan suasananya. Pengunjung luar negeri pun meningkat, terutama dari Singapura, bahkan Menteri Kebudayaan Singapura juga datang dan duta besar negara Denmark. Secara umum, pengunjung luar negeri berjumlah 15 persen dari total pengunjung ArtJog sampai hari ini,” ujar Toko.
Secara khusus, Toko melihat dukungan Bekraf dalam ArtJog sudah bagus dan bisa menggerakkan gairah kesenian di Indonesia. Peran Bekraf masih dinanti untuk masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, misalnya bea cukai karya yang masuk atau keluar Indonesia hingga bantuan mendatangkan seniman kaliber internasional dari luar negeri maupun publikasi yang mengarah ke publik internasional. [VTO]
Luaskan Jejaring Industri Musik
Salah satu ajang paling berpengaruh untuk ekosistem musik dunia sebentar lagi dihelat. Marche International du Disque et de l’Edition Musicale (Midem) akan diselenggarakan pada 5–8 Juni di Palais des Festivals, Cannes, Perancis. Tak ketinggalan, Indonesia akan mengambil bagian.
Sejak 1966, Midem telah menjadi marketplace internasional untuk komunitas musik global. Perhelatan ini didedikasikan untuk membantu industri musik dan partnernya mengembangkan musik dan kreativitas dengan pertemuan akbar pemain-pemain kunci dalam ekosistem musik. Midem menyediakan ruang pertukaran ide dan menghadirkan para pemusik, label, manajer, penerbit atau publisher, distributor, promotor, perusahaan rintisan, serta agensi komunikasi. Pada Midem 2018 ini, ada sekitar 4.400 peserta dari 80 negara yang akan terlibat.
Dengan dukungan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Indonesia akan mengirimkan delegasi dari industri musik untuk mengenalkan ekosistem musik Tanah Air kepada dunia dan membangun jejaring bisnis. “Bekraf menilai Midem adalah market hub internasional penting bagi industri musik karena Midem adalah pasar business to business pelaku industri musik terbesar di dunia,” kata Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik.
Ricky menjelaskan, Paviliun Indonesia akan hadir di Midem 2018 dan menghadirkan semua aspek pelaku industri musik mulai dari label, promotor, publisher, agen artis, sampai produk-produk instrumen dan teknologi musik karya anak bangsa yang sudah memiliki pasar internasional. Lanskap musik Indonesia terkini juga akan disampaikan dalam panel khusus.
Ciptakan peluang
Berdasarkan Survei Khusus Ekonomi Kreatif pada 2017, kontribusi sektor musik baru berkisar 0,47 persen dari total PDB industri kreatif. Rentang yang ada dibandingkan dengan kontribusi PDB sektor ekonomi kreatif yang lain menyisakan peluang yang begitu besar untuk ditingkatkan. Peluang inilah yang ini dikejar dengan beragam langkah strategis, termasuk mengenalkan lanskap musik Indonesia di Midem.
Irfan Aulia, pendiri dan managing director dari publisher Massive Music Entertainment, mengatakan bahwa musik punya potensi besar sebagai sarana diplomasi atau penetrasi budaya, selain tentu saja menggerakkan roda ekonomi. Pada Midem 2018, ia akan menjadi salah satu panelis bersama dengan sejumlah delegasi lain dari Indonesia. Irfan sendiri akan membawa topik industri hak cipta di Indonesia. Pemahaman lebih lengkap akan ekosistem musik Indonesia akan meluaskan kesempatan orang-orang dari berbagai negara bekerja sama dan membangun bisnis dengan industri musik Indonesia.
Irfan mengatakan, tantangan pengembangan ekosistem musik di Indonesia adalah pada perkara hak cipta. Belum ada basis data yang lengkap dan sistem administrasi yang baik untuk pengelolaan hak cipta musik. Saat ini, sistem basis data itu sedang dikembangkan.
Pada Midem 2018 ini, keragaman Indonesia dalam musik juga akan menjadi nilai jual penting. Indonesia membawa tema “17.000 Islands of Imagination”, amplifikasi tema ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. “Kita ingin mempromosikan keragaman khazanah musik Indonesia dan peluang-peluang terbaru bagi jejaring bisnis musik internasional,” pungkas Ricky. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Juni 2018.