Pertamina menjalankan strateginya untuk menjaga availability produksi migas di sektor hulu secara agresif. Produksi migas Pertamina menunjukkan tren peningkatan dalam 4 tahun terakhir, pada periode 2015 sampai dengan 2018. Pada tahun 2019, diperkirakan produksi akan berada pada kisaran 910 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD). Untuk mewujudkannya, tahun ini Pertamina telah mengalokasikan anggaran investasi berkisar US$2,6 miliar khusus untuk sektor hulu atau sekitar 60% dari total rencana investasi Pertamina di tahun 2019. Komitmen investasi tersebut akan dipertahankan bahkan ditingkatkan untuk tahun 2020 dan seterusnya guna mewujudkan peningkatan produksi migas untuk Indonesia.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan bahwa dalam mengelola aset operasi di sektor hulu, Pertamina menjalankan tiga strategi utama, yaitu pertama, mengelola baseline production dari wilayah kerja yang sudah ada. Kedua, Pertamina berupaya menemukan lapangan baru, dengan cara non-organik melalui M&A (Merger and Acquisitions) dan eksplorasi New Venture di daerah frontier. Ketiga, Pertamina terus meningkatkan upaya transisi ke energi terbarukan dalam rangka mendukung penuh cita-cita Pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan energi nasional tahun 2025 dan 2050 sebagaimana tertuang dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional).
Nicke menegaskan bahwa saat ini Pertamina mengelola lapangan yang mayoritas sudah berproduksi sejak lama dan termasuk kategori mature fields dengan angka laju penurunan alamiahnya (natural decline) dapat mencapai 50%. “Migas adalah energi yang tidak terbarukan, dan semua lapangan pasti akan menghadapi laju penurunan produksi alamiah,” jelasnya. Menahan laju penurunan alamiah merupakan tantangan utama yang berhasil dikelola dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan lapangan-lapangan tersebut bertahan untuk berproduksi dengan laju pengurasan secara agregat yang jauh lebih rendah bahkan mendekati 0%. Oleh karena itu, imbuh Nicke, strategi pengelolaan wilayah kerja yang sudah ada saat ini dilakukan dengan cara menciptakan siklus kehidupan kedua (second life cycle creation) bagi lapangan yang sudah mature tersebut.
Menjaga Laju Produksi
Kegiatan yang dilakukan untuk menjaga baseline production yang sustainable adalah dengan melakukan aktivitas pengeboran sumur baru yang agresif, baik dalam bentuk pengeboran sumur pengembangan maupun sumur eksplorasi di wilayah kerja yang sudah ada saat ini. Selanjutnya Pertamina juga menggiatkan aktivitas seperti intervensi sumur, workover, artificial lift, dan upaya-upaya sejenisnya yang diimbangi pula dengan optimalisasi fasilitas produksi, optimalisasi sistem kompresi untuk lapangan gas, pengeliminasian sumbatan produksi, serta penerapan teknologi antara lain pengurasan minyak tahap lanjut melalui enhanced oil recovery (EOR). “Dengan upaya-upaya ini, Pertamina berhasil mengelola penurunan produksi dan ditekan serendah-rendahnya, bahkan meningkatkan kembali produksi dari mature fields melalui penciptaan siklus kedua dari life of fields wilayah kerja terminasi,” tegas Nicke.
Di tahun 2019 produksi diharapkan akan secara relatif sama atau “flat” dibandingkan pencapaian target produksi 2018. Sesuai dengan laporan kinerja tahun 2018, Pertamina berhasil mencapai target produksinya yang sebesar 920 ribu barel setara minyak per hari. Produksi di tahun 2019 ini diperkirakan akan berada pada kisaran 910 ribu barel setara minyak per hari. Target pada tahun 2020 akan berada pada kisaran 923 ribu barel setara minyak per hari dan sekaligus ini merupakan tahun tinggal landas bagi RJPP Pertamina 2020-2026. Mempertahankan laju penurunan yang “flat” terhadap derasnya laju penurunan alamiah memperlihatkan besarnya upaya yang signifikan yang dicapai melalui inovasi-inovasi yang intensif. Untuk tahun 2021, Pertamina menargetkan produksi di kisaran satu juta barel setara minyak per hari dan ditargetkan akan seterusnya naik di tahun-tahun berikutnya. Pertamina juga terus menjaga kemitraan yang positif dalam pengoperasian lapangan-lapangan yang lebih kini, seperti lapangan minyak Banyu Urip di Cepu dan lapangan gas Senoro di Tomori bersama mitra-mitra strategis Pertamina. Keberhasilan dalam pengelolaan kedua lapangan tersebut memberikan keyakinan akan potensi kemitraan yang lebih luas pada wilayah kerja lainnya.
Potensi sumber daya yang belum terkuras yang dikandung pada wilayah kerja saat ini (existing) masihlah cukup besar dan Pertamina terus berinovasi untuk membuka potensi-potensi upside tersebut melalui inovasi OPLL (optimasi pengembangan lapangan-lapangan) seperti yang saat ini sedang dilakukan di Mahakam dan wilayah kerja lainnya.
Lebih lanjut Nicke menjelaskan, salah satu contoh agresivitas pengeboran adalah dengan merencanakan pengeboran 315 sumur pengembangan yang sepertiganya dilakukan di blok Mahakam. Sebagai contoh, sejak alihkelola blok Mahakam pada Januari 2018 hingga tahun ini, Pertamina Hulu Mahakam (PHM) sebagai operator blok Mahakam memprediksi upaya pengeboran akan mencapai 187 sumur pengembangan hingga akhir 2019, terdiri dari 66 sumur telah berhasil dibor pada tahun 2018 dan 121 sumur ditargetkan selesai selama tahun 2019. Hingga Oktober 2019, sebanyak 99 sumur telah direalisasikan.
Kembali terkait blok Mahakam, dalam operasinya PHM telah mampu melakukan efisiensi operasi dan menciptakan nilai (value creation) dengan sangat baik. Hasilnya, di tahun 2018 saja, yaitu setelah satu tahun Blok Mahakam dikelola oleh PHM, pendapatan pemerintah meningkat sebesar US$584 juta atau 61%, dari target US$950 juta ke US$1,5 miliar berkat efisiensi biaya sebesar US$361 juta. Data juga menunjukkan bahwa pada tahun 2018 tersebut PHM telah mampu menurunkan cost recovery dari US$1.271 juta menjadi US$973 juta. Nicke menambahkan bahwa best practice dari value creation yang telah dicapai di Blok Mahakam ini ditularkan kepada wilayah kerja terminasi lainnya yang dikelola Pertamina, seperti halnya Pertamina Hulu Sanga-Sanga, Pertamina Hulu Kalimantan Timur, Pertamina Hulu Energi OSES dan ONWJ.
Mencari Peluang Baru
Untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi dari sektor hulu untuk Indonesia, Pertamina juga aktif melakukan eksplorasi mencari sumber cadangan baru melalui program seismik.
Adapun total volume seismik sejak tahun 2014 sampai dengan September 2019 telah terakumulasikan sebesar 12.020 km seismik 2D dan 8.584 km2 seismik 3D. Besaran biaya akuisisi seismik pada periode tersebut mencapai US$738 juta dan menghasilkan temuan cadangan kategori 2C sebesar 2,3 miliar barel setara minyak. Dari sebagian program seismik yang dilaksanakan di wilayah yang belum tersentuh sebelumnya, telah memberikan hasil yang positif, yaitu salah satunya penemuan lapangan Parang dan Keris di wilayah kerja Nunukan, Kalimantan Utara. Pada tahun 2017, Pertamina berhasil menemukan cadangan gas sebesar 222 juta barel setara minyak di wilayah kerja Nunukan tersebut.
“Cadangan-cadangan migas yang telah berhasil ditemukan kemudian didorong memasuki taraf selanjutnya ke fasa pengembangan seperti halnya proyek Jambaran-Tiung Biru (JTB). Sedangkan untuk cadangan gas di Nunukan sedang dilakukan kajian intensif untuk ke fasa pengembangan serta monetisasi di wilayah Kalimantan Utara,” lanjut Nicke.
Berangkat dari keberhasilan PHE Nunukan, Pertamina melanjutkan upaya ekspansi melalui eksplorasi blok baru, yaitu dengan memenangkan tender terbuka untuk Blok Maratua di wilayah Kalimantan Utara yang ditandatangani pada awal 2019. Belajar dari keberhasilan mengelola wilayah-wilayah kerja terminasi dengan gross split, Pertamina berkeyakinan tinggi dapat mengelola Wilayah Kerja eksplorasi Maratua dengan skema gross split. Pada tahun 2019 ini, Pertamina juga memperoleh wilayah kerja eksplorasi baru melalui tender terbuka pada Wilayah Kerja West Ganal di Kalimantan Timur. Saat ini terdapat paling tidak tiga joint study yang dilakukan baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan mitra strategis, serta lima regional exploration study yang dilakukan sendiri, di wilayah yang berpotensi memiliki cadangan migas.
Nicke menegaskan, agresivitas Pertamina dalam upaya menemukan cadangan dapat dilihat dari dimulainya pelaksanaan survei seismik laut regional 2D di daerah terbuka pekan lalu. “Survei seismik tersebut adalah survei seismik laut regional 2D yang terbesar di Asia Pasifik dan Australia dalam sepuluh tahun terakhir,” tegasnya. Nicke menambahkan bahwa Pertamina agresif untuk pekerjaan ini dengan menyiapkan investasi dari Komitmen Kerja Pasti (KKP) di Wilayah Kerja Jambi Merang pada tahun 2019 berjumlah US$20,46 juta. Secara kumulatif, tambahan investasi KKP Jambi Merang hingga tahun 2024 adalah sebesar US$239,3 juta untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di luar wilayah kerja Jambi Merang, yaitu di daerah frontier.
Di samping itu, Pertamina juga mengupayakan kegiatan merger dan akusisi untuk blok-blok yang memiliki potensi cadangan yang masih tinggi dan sesuai dengan visi dan misi perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Di luar negeri, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Internasional EP (PIEP) juga bergerak menangkap peluang besar di pentas global. Dalam rangka menambah cadangan dan meningkatkan produksi migas, Pertamina melakukan akuisisi lapangan migas luar negeri. Di Aljazair, terdapat 3 lapangan migas yang dimiliki Pertamina yaitu MLN (Pertamina sebagai operator dengan kepemilikan 65% saham), EMK dan OHD. Selain itu, di tahun 2017 Pertamina juga mendapatkan wilayah migas lainnya melalui akuisisi Maurel & Prom (M&P), perusahaan migas yang tercatat di bursa Paris.
Hingga saat ini, Pertamina memiliki kehadiran aset migas di 13 negara, baik sebagai operator, sebagai mitra, maupun dalam bentuk kepemilikan perusahaan yang dikontrol oleh Pertamina.
Kehadiran tersebut berada di Aljazair, Malaysia, Irak, Kanada, Perancis, Italia, Namibia, Tanzania, Gabon, Nigeria, Kolombia, Angola, dan Venezuela. Total produksi migas lapangan luar negeri tersebut sebesar 101 ribu barel minyak per hari (BOPD) minyak bumi dan 268 juta standar kaki kubik gas per hari (MMSCFGPD) gas bumi. Kegiatan alih kelola maupun akuisisi yang dilakukan, tidak hanya menambah cadangan dan produksi migas, namun juga untuk transfer pengetahuan dan teknologi, sehingga meningkatkan kompetensi sumber daya internal Pertamina, sejalan dengan pembangunan sumber daya manusia unggul yang dicanangkan Pemerintah Indonesia.
Pengembangan Panasbumi
Strategi ketiga, Pertamina juga terdepan dalam melakukan upaya untuk mewujudkan transisi ke energi baru dan terbarukan di sektor hulu. Pertamina telah aktif melakukan operasi dan pengembangan energi panas bumi di Indonesia sejak tahun 1974. Saat ini, kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri oleh PGE (own operation) sebesar 672 MW dan dilakukan melalui skema upstream project dan total project. Dalam skema upstream project, PGE bertindak sebagai penjual panas bumi untuk disalurkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik pembeli, sedangkan dalam skema total project, PGE bertindak sebagai penjual tenaga listrik yang dibangkitkan dari PLTP milik PGE untuk disalurkan ke jaringan transmisi/distribusi milik PT PLN (Persero) sebagai pembeli.
“Di seluruh pelosok tanah air, rakyat Indonesia memimpikan teraliri listrik. PGE hadir sebagai mitra PLN untuk mempercepat target 35 ribu MW kelistrikan nasional,”ungkap Nicke.
Total kapasitas terpasang tersebut berpotensi menerangi 1.344.000 rumah dan menghemat cadangan devisa migas sekitar 31,8 ribu barel setara minyak per hari serta pengurangan emisi sebesar 3,4 ton CO2 per tahun. Selain turut mengembangkan infrastruktur, memelihara lingkungan hidup, dan memberdayakan masyarakat di wilayah operasinya, pengembangan panas bumi yang dilakukan oleh PGE juga memberikan kontribusi kepada penerimaan negara sebesar 34% dari net operating income PGE dan juga berkontribusi langsung kepada penerimaan daerah melalui pemberian bonus produksi yang ditransfer langsung ke kas daerah sebesar 1% dari pendapatan kotor untuk penjualan uap dan 0,5% dari pendapatan kotor untuk penjualan listrik.
Lebih lanjut Nicke menjelaskan bahwa Pertamina tidak cepat berpuas diri di bidang panas bumi karena saat ini baru sekitar 6% dari potensi panas bumi di Indonesia yang telah digarap. Untuk itu, melalui rencana jangka panjang 2021 sampai dengan 2026, PGE berkomitmen mengucurkan investasi sebesar US$2,68 miliar untuk pengembangan wilayah kerja yang ada serta menggarap wilayah kerja – wilayah kerja baru di Indonesia. Sebagai contoh, dua proyek baru yang segera digarap adalah Kota Mobagu di Sulawesi Utara dan Seulawah di Aceh. Dengan strategi tersebut, kapasitas terpasang own operation PLTP akan melesat hampir 2 kali lipat dari 672 MW menjadi 1.112 MW. Dengan demikian, PGE optimis dapat meningkatkan cadangan menjadi 2.175 MW dan produksi listrik menjadi 7.455 GWh.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 November 2019.